Nil Maizar, bervisi bagus
Beberapa hari lalu, saya terkejut menyaksikan dua stasiun TV berbeda menayangkan dua timnas dari negara yang sama, yaitu negara kita Indonesia. Yang satu menayangkan perjuangan tim nasional melawan Australia di pertandingan kualifikasi Piala Asia U-22, satu lagi menayangkan pertandingan eksibisi tim Cesc Fabregas cs menghadapi Indonesia Selection, yang notabene adalah timnas senior dilihat dari seragam, pelatih, maupun pemainnya.

Melihat dua timnas bertanding dalam waktu bersamaan saja sudah membuat saya mengernyitkan dahi. Anda juga mungkin banyak yang berpikir hal sama dengan saya. Tapi ya sudahlah, di sini apa pun memang sering mengejutkan.


Saya sebagai masyarakat awam penggemar sepak bola sih senang-senang saja menyaksikan tontonan menghibur, apalagi di situ ada Cesc Fabregas, yang walaupun hanya dikasih t-shirt (beneran t-shirt) untuk bermain dalam sebuah laga eksibisi 90 menit dan masih
jet-lag seusai membawa Spanyol juara Piala Eropa, namun masih mampu menghibur dengan kemampuan bermain bolanya, yang mungkin hanya seperempatnya saja yang dia keluarkan. Belum lagi mendengar histeria kaum hawa yang tersihir oleh ketampanan latin Cesc.

Di sela pertandingan itu, pelatih Nil Maizar sering berteriak “Sabar!” dan “One-touch!” yang membuat saya mengangguk-angguk bahwa dua hal itulah yang benar-benar tidak dimiliki pemain kita, kesabaran dalam membangun dan mengorganisasi permainan dan kemampuan melakukan
one-touch passing.

Timnas kita sering bermain sporadis. Bola ditendang jauh dari belakang tanpa tujuan yang jelas, lalu mereka berharap para penyerang mengejarnya mati-matian. Atau mengirimkan bola ke sektor sayap, lalu sayap tersebut mengirim
crossing ke mulut gawang dan berharap para penyerang mampu melompat tinggi mengalahkan bek lawan yang lebih tinggi darinya untuk bisa menyundul bola masuk ke gawang.

Satu lagi cara khas timnas membongkar pertahanan lawan adalah memaksa untuk menggiring bola melewati lawan, tidak melihat posisi kosong kawan, tidak memikirkan efektivitas keputusan
dribble yang diambilnya. Tidak juga ada upaya one-touch seperti yang diteriakkan Nil Maizar.

One-touch
sebagai representasi pola permainan sepak bola modern menanamkan di kepala pemain untuk lebih sering mengumpan daripada men-dribble bola. Semakin sering pemain menyentuh bola, semakin besar kemungkinan bola akan direbut lawan.

Sentuhan pemain terhadap bola semakin minim, namun peluang yang tercipta semakin banyak. Hampir seluruh pemain juga berperan dalam permainan. Kombinasi
simple passing berkali-kali yang sempurna hasil dari latihan beratus-ratus kali hanya bisa ditangkal dengan memarkir airbus di depan gawang.

Tidak, saya bukannya ingin menyoroti taktik, ada rekan-rekan lain yang lebih piawai membahasnya, selain itu, permainan timnas kita juga tidaklah kaya akan taktik. Tapi jika melihat fenomena ini, tim nasional kita sudah seperti tertinggal puluhan tahun dari negara lain.


Tidak usahlah jauh-jauh, lihat saja Malaysia dan Thailand. Kualitas
second striker, sayap maupun striker kita tidaklah kalah dari yang mereka punya, begitupun kualitas gelandang dan lain-lain. Intinya, secara individu kita tidaklah kalah, namun mengapa mereka mampu memainkan bola lebih baik daripada kita?

Saya juga baru baca sedikit buku kurikulum sepak bola Coach Timo Scheunemann bahwa penanganan pemain muda di SSB bukanlah mengenai mengejar kemenangan, namun bagaimana melatih sebuah teknik dasar bermain bola bernama: PASSING.


Saya sengaja menuliskan ini besar-besar karena geram dan gemas melihat seringnya pemain kita yang masih saja memaksakan diri menembak ke gawang lawan di saat temannya jelas-jelas memiliki posisi lebih bebas.


Permasalahan memang makin terlihat kompleks jika melihat klub sepak bola kita. Kebanyakan posisi vital tim, bahkan kapten, diisi oleh pemain asing. Lihat juga daftar topskor ISL yang mayoritas diisi pemain asing. Belum lagi melihat kontrak pemain yang hanya berdurasi setahun, ketika para pemain dipaksa mengeluarkan permainan terbaik dalam waktu singkat.


Jika bermain jelek 2-3 pertandingan, sang pemain langsung didepak. Sering kali, keputusan yang berasal dari pola pikir instan tersebut memimpin klub pada keputusan yang salah.


Kontrak setahun membuat rekan setim berubah setiap saat. Sering berubahnya tim secara drastis tentunya menghilangkan jati diri tim. Bagaimana mau membina kekompakan dan bermain dengan passingakurat jika tidak terjalin pengertian antar pemain.


Ciri khas permainan juga nyaris tidak ada, karena yang dituntut adalah pemain yang tahan banting menghadapi teror bek dan permainan kasar lawan serta teror dari pengurus untuk cepat membuktikan kapabilitas. Mereka selalu bilang “ini sepak bola profesional, yang tidak bagus akan didepak.” Tetapi tidak ada semacam standar mengapa mereka harus didepak atau dipertahankan. Semua serba instan.
 
Yang tercipta adalah yang terlihat, yaitu permainan yang hanya sekadar menendang, berlari, menekel, dan menyundul. Dan muara dari semua itu tidak lain adalah tim nasional yang kita cintai.

Sampai kapan kita masih ingin melihat tim nasional kita terus kalah dan tidak bisa bermain dengan benar? Seorang pemain tim nasional berusia di atas 20 tahun yang masih belajar passing sama halnya dengan seorang mahasiswa jurusan matematika yang masih belajar aljabar dasar.

Pak Nil Maizar, kami berharap Anda terus bersabar dan tidak menyerah untuk meneriakkan “Sabar” dan “One touch”