Pages

Wednesday, May 30, 2012

Player you’ll miss in Euro 2012: Stevan Jovetic

<><><><><><><><>
Stevan Jovetic, the next best thing


Setiap pemimpin besar kelak namanya akan diabadikan. Pengabadian dilakukan entah atas dasar respek kepada jasa-jasa yang diberikan atau karena takut ataupun ingin cari muka saja. Tidak jarang bentuk penghargaan itu diabadikan dalam bentuk menjadikan nama tokoh tersebut menjadi nama kota. Josip Broz Tito adalah salah satu pemimpin besar dunia kelahiran Kroasia. Kepemimpinannya selama tahun 1945 hingga 1980 menyatukan seluruh wilayah Balkan dalam satu negara.

Banyak kota di kawasan Balkan dinamai dengan nama Tito. Titograd adalah salah satunya. Pasca kematiannya di tahun 1980, perpecahan kerap melanda salah satu kawasan paling bergejolak di muka bumi tersebut. Perang etnis dan agama seolah tidak pernah berhenti. Solusi yang mereka ambil adalah jalan masing-masing alias merdeka. Waktu berlalu, dan kini Titograd kembali ke nama asalnya yaitu Podgorica, yang kini menjadi ibukota dari negara Montenegro seiring perpisahan mereka dengan Serbia, sekaligus menghapuskan negara Yugoslavia dari peta dunia.

Cerita di kawasan Balkan tidak melulu soal konflik. Sepakbola menjadi olahraga nomor satu disana, seperti layaknya tempat mereka di banyak bangsa di dunia. Negara-negara Balkan tersebut tidak sekadar menjadi partisipan dalam turnamen antar negara yang mereka jalani. Mereka juga banyak melahirkan banyak pemain legendaris seperti Dejan Savicevic dan Dragan Stojkovic (Yugoslavia) hingga Davor Suker (Kroasia).

Kembali ke kota Podgorica. Di kota ini 22 tahun lalu, lahirlah seorang bocah yang kelak akan menjadi seorang pesepakbola ternama. Pesepakbola yang kini menjadi harapan bagi negara berpenduduk tidak sampai sepersepuluh penduduk kota Jakarta tersebut adalah Stevan Jovetic. Jovetic kecil mengawali perkenalan sepakbolanya di klub lokal kota kelahirannya, Mladost Podgorica di usia 11 tahun. Permainan cemerlangnya membuat klub besar Red Star Belgrade tertarik untuk merekrutnya ketika usianya beranjak 14 tahun. Tapi Red Star bertepuk sebelah tangan. Pemain yang di masa kecilnya dipanggil “Pujo” karena kemiripan rambutnya dengan Carles Puyol ini malah memilih rival Red Star, yaitu Partizan Belgrade.

Jovetic adalah pemain yang sudah menunjukkan bakat luar biasa sejak muda. Dia mencetak hattrick profesional pertamanya di usia 17. Selanjutnya dia menjadi kapten di tim yang saat itu diasuh Juergen Rober itu di usia 18 yang memecahkan rekor kapten termuda  yang sebelumnya dipegang oleh Albert Nad di usianya yang ke 19. Skill tinggi dan kepemimpinannya seperti sebuah anugerah dari Sang Pencipta, dan dia menggunakannya dengan baik.

Bermain cemerlang di Balkan, Jovetic mencoba peruntungannya di liga-liga besar Eropa. Permainan briliannya sudah lama dilirik oleh banyak talent scout. Manchester United dan Real Madrid termasuk yang paling menginginkannya saat itu, tapi dia malah memilih untuk hijrah ke kota Firenze, tempat klub bernama AC Fiorentina bermarkas. Saat itu, Fiorentina hanya membayar 8 juta euro untuk memindahkannya ke Artemio Franchi. Belakangan, mantan legenda AC Milan yang juga presiden federasi sepakbola Montenegro, Dejan Savicevic, bahkan mengaku bahwa dia pernah menyarankan Ariedo Braida, salah satu direktur Milan, untuk merebut Jovetic sebelum Fiorentina merekrutnya. Namun saat itu, Milan tidak melakukan pergerakan.

Pilihan yang diambilnya ternyata pilihan yang bijak. Alih-alih langsung bermain di klub besar dengan gaji tinggi dan sorotan serta tekanan yang juga besar, dia memilih bergabung di sebuah klub papan tengah seri a, yang kompetisinya juga sedang mengalami penurunan. Sorotan kepadanya tidak sebesar dibandingkan jika dia bermain di United ataupun Madrid, hal yang makin membuatnya berkembang pesat.

Jojo, panggilan akrabnya, bagaimanapun tidak langsung nyetel dengan sepakbola Italia yang sangat mengutamakan taktik dan memiliki kultur yang kuat dalam pertahanan. Dia baru mencetak gol perdana bagi la viola sebelas bulan setelah bergabung, namun di musim pertamanya itu Fiorentina mampu lolos ke Liga Champions. Setelah melalui proses adaptasi yang berat, pemain kelahiran 1989 ini angkat nama di musim keduanya. Permainannya kala menghadapi Liverpool dan Bayern Muenchen dimana dia mencetak masing-masing dua gol bahkan membuat sebagian orang menyamakannya dengan si fenomenal Lionel Messi.

Keteguhan hati sang pemain diuji musim lalu saat cedera parah melandanya. Cedera kerusakan ligamen yang membuatnya absen sepanjang musim 2010/2011. Namun  ternyata cedera tidak mengurangi tekadnya untuk tetap bermain bola. Sekembalinya ke lapangan setahun kemudian, sihir Jojo tidaklah berkurang, malahan makin meyakinkan. Disaat para pemain la viola lainnya bermain buruk, Jojo seakan sendirian mengangkat performa timnya, sehingga mampu memaksakan timnya mapan di papan tengah seri a. Total 37 pertandingan dilakoninya di semua kompetisi musim 2011/2012 dengan torehan 14 gol.

Jojo adalah pemain multi posisi di lini serang. Dia bisa bermain sama baiknya di posisi trequartista, sayap, false nine bahkan prima punta. Namun potensi terbaiknya muncul di posisi false nine. Permainannya yang elegan dan naluri golnya yang tinggi membuatnya makin menjadi incaran klub-klub besar. Tifosi Fiorentina sudah terlanjur menahbiskannya sebagai penerus Roberto Baggio, sang legenda hidup sehingga Jojo dipagari rapat-rapat. Jojo telah menandatangani kontrak yang akan mengikatnya hingga tahun 2016 mendatang. Namun, semua orang tahu jika dalam sepakbola tidak ada yang pasti.

Dalam karir internasionalnya, Jovetic, yang potongan rambutnya juga dibilang mirip gitaris Queen, Brian May, tampil mengesankan dan membawa Montenegro menduduki posisi kedua dibawah Inggris dalam babak kualifikasi Euro 2012 Polandia-Ukraina. Sayangnya mereka gagal di babak play-off di tangan Republik Ceska. Kombinasinya dengan sang idola, Mirko Vucinic adalah mimpi buruk bagi lawan-lawan Montenegro. Jojo bahkan menjadi pemain Montenegro dengan rasio gol terbaik, yaitu 0,45 gol per pertandingan, setingkat diatas Vucinic dengan rasio 0,41 gol per pertandingan.

Entah apa yang akan dilakukannya nanti selama gelaran Piala Eropa berlangsung. Menjadi turis atau menonton dari layar kaca di televisi bisa dilakukannya sambil menyeleksi proposal penawaran kontrak dari klub-klub top Eropa yang tumpukannya kian meninggi diatas mejanya. Memang tidak ada yang pasti dalam sepakbola, namun Jojo sudah siap dengan segala ketidakpastian tersebut. Menjadi bintang di klub besar sudah saatnya kini.

Tuesday, May 29, 2012

Player you’ll miss in Euro 2012: Gylfi Sigurdsson

<><><><><><><><>
The Icelandic number 10


Berbagai media menyajikan cerita soal pemain yang akan bersinar di Euro 2012. Media sibuk menggiring opini publik untuk menantikan performa Cristiano Ronaldo, yang masih penasaran karena belum mampu tampil maksimal di turmanen besar antar bangsa. Mesut Ozil, yang kian memperlihatkan potensinya menjadi pesaing Ronaldo dan Lionel Messi untuk menjadi pemain terbaik dunia. Atau Andrea Pirlo dan Xavi Hernandez, dua pengatur permainan terbaik saat ini yang siap beradu di penyisihan grup.

Anda mungkin juga menunggu aksi para calon bintang yang diramalkan akan bersinar di Polandia-Ukrainan nanti. Pemain yang sudah banyak disebut-sebut oleh penggila game Football Manager di forum game tersebut seperti Mario Goetze, Cristian Erikssen, Robert Lewandowski, Andriy Iarmolenko, Alan Dzagoev, Sotiris Ninis dan mungkin…. Andy Carroll... Well, who knows mungkin akan menemukan sinarnya di gelaran empat tahunan tersebut.

Di air terjun Seljalandsfoss sana, mungkin seorang laki-laki Nordic sedang berdiri memandangi wahana ciptaan Tuhan itu, sambil sesekali memotret dengan kamera sakunya. Lelaki itu mungkin juga sedang menunggu penampakan aurora borealis dan menyaksikannya dengan takjub diatas atap rumahnya di Rekyavyk. Yang jelas, dia memilih untuk sejenak mengasingkan diri dari hiruk pikuk yang terjadi 2600 km dari tempatnya berdiri. Gylfi Sigurdsson, nama laki-laki itu. Sigurdsson, yang baru 22 tahun, adalah salah satu dari sekian banyak pemain bagus bertalenta yang absen dari Euro 2012 karena negaranya Islandia gagal lolos ke putaran final.

Menyaksikan Sigurdsson bermain seperti menyaksikan Frank Lampard muda, dengan versi lebih jangkung. Namun postur menjulangnya tidak menghalangi kedua kakinya untuk piawai melakukan dribbling. Foot-work dan tehnik stepping-nya eksepsional, begitu pula visi permainannya sebagai gelandang serang.

Sigurdsson memiliki talenta untuk menjadi the classic number 10. Jika Anda membuka youtube yang berisi kompilasi permainannya di tim nasional Islandia Under 21, Anda akan terkejut bahwa hal-hal mengesankan itu dilakukan oleh seorang pemain dari negara yang tidak memiliki tradisi dan prestasi sepakbola yang menonjol.

Anda yang menggemari English Premier League mungkin sudah tidak asing lagi dengan permainannya di Swansea City. Footballfollower.com merilis data statistik yang memuat kontribusi mengagumkan Sigurdsson dari 9 pertandingan awalnya bersama klub asal Wales itu.

Dalam 9 laganya tersebut, Sigurdsson telah menciptakan 5 gol dan 2 assist. Kehadirannya sebagai pemain yang berdiri di belakang posisi Danny Graham tersebut telah menaikkan rasio Swansea dalam melepas tendangan kearah gawang lawan. Sigurdsson melepas 3,4 shots per game, terbaik setelah sebelumnya rekor itu dipegang Scott Sinclair dengan 2,7 tembakan.

Sigurdsson juga meningkatkan peluang Swansea dalam menciptakan gol. Tercatat setiap 36 menit dia membuat goal-scoring chances untuk timnya dalam bentuk key passes maupun assist. Sebagai perbandingan di liga, Sigurdsson berada di posisi ketiga sebagai pemain yang menciptakan peluang paling sering setelah Juan Mata melakukannya setiap 27 menit dan David Silva setiap 32 menit. Dengan kata lain, Sigurdsson menjadi senjata utama dalam serangan Swansea.

Pola 4-2-3-1 menempatkan Sigurdsson sebagai posisi si nomor 10. Meskipun Sigurdsson memiliki modal untuk menjadi the classic number 10 karena kemampuannya mengkreasi peluang dan skillnya yang diatas rata-rata, namun dia mengombinasikan talentanya dengan fisik yang prima sehingga sesuai dengan tuntutan sepakbola modern yang dinamis. Sigurdsson banyak mengalirkan bola ke kedua sayap untuk kemudian meminta bola di kotak penalti, Beberapa gol yang dia ciptakan tercipta dari skema itu. Tidak jarang juga Sigurdsson melepas tendangan jarak jauh yang akurat.

Tidak hanya itu, mantan pemain Reading ini juga menjadi eksekutor bola mati Swansea. Karakteristik tendangannya yang keras dan menukik adalah ancaman nyata bagi penjaga gawang dan bek-bek lawan. Sampai di akhir musim, Sigurdsson mencetak 7 gol hanya dari 18 penampilannya bersama Swansea. Sebuah produktivitas yang tidak bisa diabaikan untuk ukuran seorang gelandang.

Bagaimana menghentikannya? Dengan kemampuannya mengendalikan serangan serta melepas umpan dan tendangan, tidak ada cara lain selain menghentikan suplai bola kepadanya. Posisi Sigurdsson yang jauh didepan memerlukan tim yang memainkan ball possession dari bawah. Sigurdsson memiliki Leon Britton dan Joe Allen sebagai duo gelandang bertahan yang bertugas mengirimkan bola kepadanya.

Mematikan Britton -salah satu pemain dengan jumlah passing terbanyak musim 2011/2012 di EPL-dan Allen adalah salah satu cara yang secara otomatis akan mengurangi peran Sigurdsson di lapangan. Jika ingin memenangi bola lebih awal, para penyerang lawan juga dapat memberikan pressing ketat kepada bek Swansea untuk memaksa mereka melakukan long pass langsung kedepan, hal yang akan turut mengurangi keterlibatan Sigurdsson dalam permainan.

Kabar terakhir menyebutkan bahwa Sigurdsson selangkah lagi menjadi pemain permanen di Swansea setelah Hoffenheim menyetujui transfer senilai 6,8 juta pound. Harga yang termasuk murah untuk pemain yang kelak akan menjadi gelandang papan atas Eropa.. Namun harga yang tergolong miring itu ternyata menjadi rekor pembelian pemain termahal yang pernah dilakukan tim asuhan Brendan Rodgers, memecahkan rekor yang sebelumnya dipegang striker Danny Graham yang didatangkan dari Watford seharga 3,5 juta pound musim panas lalu.

Sigurdsson memang belum banyak bermain untuk tim nasionalnya, Dia baru bermain sebanyak 8 kali dan mencetak sebuah gol untuk negaranya. Namun dengan usia yang masih muda dan terus bermain di tim yang cocok dengan gaya permainannya seperti Swansea, Sigurdsson jelas berpotensi untuk melebihi pencapaian Eidur Gudjohnsen sebagai legenda sepakbola dari negeri es paling utara di dunia.

Friday, May 25, 2012

The Dream Team: Mereka yang absen di Euro 2012


Henrik Mkhitaryan, orang Armenia yang bukan personel System of a Down

Euro 2012 sudah semakin mendekat, dan para kontestan sudah banyak yang bersolek. Training camp telah ditentukan, uji coba terakhir untuk menentukan skuad final juga sudah dipersiapkan. Pengecualian terjadi pada Roy Hodgson yang sudah jauh-jauh hari menentukan armadanya. Entah karena sudah kadung yakin atau sekedar menghindari polemik dan konflik berkepanjangan.

Namun tidak banyak yang peduli apa yang dilakukan oleh para pemain dari negara-negara yang tidak lolos ke putaran final. Saya sudah pernah membahas dan menyayangkan betapa tim penuh pemain bagus seperti Belgia tidak lolos kesini, dan kita gagal menyaksikan penampilan dari Eden Hazard dan kawan-kawan. Tidak hanya Belgia sebenarnya yang membuat kita merasa kehilangan. Bosnia, Swis, Norwegia yang penampilannya bagus di babak kualifikasi juga patut kita sayangkan ketidakhadirannya.

Begitu pula Armenia. Kita mungkin lebih mengenal milisi musik metal Daron Malakiyan dan Serj Tankian, ataupun Youri Djorkaeff, sang legenda Prancis keturunan negara ini. Mereka lebih terkenal daripada seorang Henrik Mkhitaryan, pemain yang tampil konsisten sehingga membawa negara yang tidak punya pantai ini menduduki peringkat 3 babak kualifikasi diatas Slovakia, yang dua tahun lalu lolos ke babak knock-out Piala Dunia di Afrika Selatan.

Setelah berdiskusi rekan twelveyardbox, saya coba menyusun starting line-up para pemain yang negaranya absen di putaran Euro 2012. Satu negara satu pemain. Dijamin tidak jelek-jelek amat dibanding Euro dream team nanti deh. Bahkan setelah membaca ini, Anda mungkin berpikir penyusunan tim ini akan sama sulitnya dengan menyusun Euro dream team nanti. Dengan formasi 4-2-3-1, berikut susunan dan profil singkat para pemainnya:


Kiper: Diego Benaglio (Swis – Vfl Wolfsburg)
Penjaga gawang 28 tahun meteroseksual ini tampil bagus di Euro 2008 dan Piala Dunia 2010. Penyelamatan-penyelamatan hebatannya mampu menghadirkan satu-satunya kekalahan bagi juara dunia Spanyol dalam partai pembuka mereka di Piala Dunia 2010.

Bek kanan: Branislav Ivanovic (Serbia – Chelsea)
Tidak diragukan lagi, Ivanovic adalah salah satu bek paling berkembang musim ini. Kebisaannya main di posisi bek tengah dan bek kanan membantu klubnya Chelsea menjuarai Piala FA dan Liga Champions. Pemain ini juga piawai mencetak gol lewat sundulan dalam situasi set-piece.

Bek tengah: Jonny Evans (Irlandia Utara – Manchester United)
Tidak banyak yang mengakui kehebatannya karena musim-musim sebelumnya lebih dikenal lewat blunder dan penampilan buruk di laga menentukan. Namun musim ini Evans menunjukkan kepada semua orang bahwa dia mampu menjaga stabilitas lini belakang United yang ditinggal cedera kapten Nemanja Vidic dan penurunan performa Rio Ferdinand.

Bek tengah: Brede Hangeland (Norwegia – Fulham)
Bek jangkung yang kokoh di udara dan memiliki tehnik bagus ini tampil 53 kali bersama Fulham musim ini. Konsistensi permainannya membuat bek 31 tahun ini mapan di klub dan tim nasional.

Bek kiri: Gareth Bale (Wales – Tottenham Hotspurs)
Tidak ada yang meragukan permainan pemuda Wales ini. Cepat, kuat dan memiliki tendangan keras adalah kelebihannya. Naluri ofensifnya membuatnya dipasang sebagai sayap kiri oleh Harry Redknapp walaupun bek kiri adalah posisi naturalnya. Sayangnya seperti George Best dan Ryan Giggs, dia berasal dari negara yang tidak memiliki prestasi sepakbola mentereng dan tradisi lolos ke turnamen besar.

Gelandang bertahan: Henrik Mkhitaryan (Armenia – Shakhtar Donetsk)
Seperti sudah saya sebutkan sebelumnya, pemain ini membuat negara Armenia menjadi tidak sekadar negara asal System of a Down saja. Penampilan konsistennya di lini tengah tim yang secara mengejutkan menduduki posisi ketiga babak kualifikasi –terbaik untuk mereka sepanjang sejarah- ini membuatnya sempat diincar Arsenal. Tidak salah memang, karena selain masih muda (23 tahun), pemain ini terpilih sebagai pemain terbaik Shakhtar Donestsk musim ini dimata pendukung tim.

Deep-lying Playmaker: Gylfi Sigurdsson (Islandia – Swansea City)
Dia adalah loan-sensation musim ini. Tampil hanya 9 kali namun mampu mencetak 5 gol untuk membawa Swansea nyaman di papan tengah setelah diawal musim dijagokan kembali turun kasta ke Championship Division. Pemain ini sebenarnya menempati posisi nomor 10 di belakang striker, namun visi bermain dan kemampuan passing serta tendangan-tendangan jarak jauhnya membuat saya tidak ragu untuk memberinya peran Pirlo-esque dalam tim saya ini.

Gelandang serang kanan: Eden Hazard (Belgia – Lille)
Dialah alasan mengapa saya sampai tidak menempatkan Vincent Kompany di sentral pertahanan tim saya. Meraih gelar pemain terbaik Ligue 1 tiga musim beruntun bukanlah pencapaian sembarangan. Eden Hazard adalah pemain yang namanya akan menghiasi headline koran-koran Eropa dalam tajuk transfer pemain. Klub manapun tidak akan melewatkan talenta besarnya.

Gelandang serang tengah: Stevan Jovetic (Montenegro – Fiorentina)
Pemain yang akrab dipanggil Jojo ini adalah penerus sejati legenda Montenegro dan AC Milan, Dejan Savicevic. Kelihaiannya bermain di posisi gelandang serang adalah anugerah bagi Fiorentina yang berkat penampilan bagusnya mampu selamat dari jeratan degradasi. Hanya butuh pindah klub saja untuk menjadi seorang bintang besar.

Gelandang serang kiri: Marek Hamsik (Slovakia – Napoli)
Sang Jenderal telah membuktikan kapasitasnya sebagai pemain terbaik Slovakia sejak merdekanya negara ini tahun 1990. Permainannya mampu mengangkat Napoli sebagai klub elit Seri a. Sempat santer akan bergabung dengan AC Milan musim panas lalu, kini Hamsik akan semakin diburu oleh para klub besar Eropa setelah kegagalan Napoli lolos ke Liga Champions.

Penyerang tengah: Edin Dzeko (Bosnia – Manchester City)
Keberhasilan City menjuarai EPL turut ditentukan oleh kontribusi pemain jangkung ini. Gol penyama kedudukan saat melawan Queens Park Rangers di partai penentuan melecut semangat The Eastlands untuk mencetak gol penentu, yang akhirnya berhasil mereka buat. Tampil kurang impresif musim lalu karena faktor adaptasi, kini Dzeko mampu mencetak 15 gol walaupun tidak menjadi pilihan utama Roberto Mancini. Jangan lupakan pula kontribusinya untuk tim nasional Bosnia yang dibawanya hingga ke babak play-off sebelum disingkirkan Portugal.

Punya susunan berbeda? Silahkan buat versi Anda sendiri.

Zapraszamy do Euro 2012! Stwórzmy historię razem!

Wednesday, May 23, 2012

Italia, menuju Euro 2012 tanpa prima punta

Please don't mess up this time, Mario

Salah satu adegan film non-action yang paling saya ingat adalah ketika Julia Robert dengan lahapnya memakan seloyang Pizza di sebuah restoran di kota Naples. Dia melahap roti bundar pipih berlapis saos tomat, keju mozzarella dan potongan aneka daging salami, ham dan bacon itu seolah tanpa beban.

Dalam perannya sebagai seorang wanita paruh baya, dia terlihat santai memakan slice demi slice makanan asli kota Naples itu seraya berkata. “I’m tired worrying about being fat and counting how many calories I’ve consumed each day. If my stomach is getting bigger, I would just buy a bigger trouser.”

Dari situ terlihat pola pikir yang sudah terbentuk dan tertanam di masyarakat Eropa dan masyarakat dunia barat pada umumnya, dan mindset demikian kini sedang menjalani masa-masa keemasannya di Indonesia, khususnya di Jakarta. Mindset untuk melakukan segala kesenangan tanpa mempedulikan dampak bagi kesehatan, dan juga tanpa memedulikan berapa harga yang harus dibayar.

Pizza hanyalah salah satu contoh makanan impor mahal yang ada di sekitar kita. Ingat pizza, kita akan mengingat salah satu negara kontestan Euro 2012, Italia. Negara yang memiliki tradisi dalam sepakbola ini adalah salah satu yang paling disorot oleh banyak pihak, walaupun tidak sekencang sorotan terhadap tim nasional Inggris. Dan kita sebagai penggemar sepakbola, apakah peduli jika harus begadang menyaksikan para jagoan yang jauh di belahan bumi barat sana beradu di turnamen besar? Sepertinya tidak. Sama halnya kita tidak peduli berapa lemak yang kita makan saat menyantap pizza.

Bicara tim nasional Italia bukanlah sekadar bicara pertahanan kokoh. Italia dikenal menghasilkan penyerang-penyerang hebat dan tampil menentukan di turnamen besar yang mereka jalani. Taktik bertahan akan sia-sia jika tidak memiliki striker yang piawai mencetak gol, karena strategi mereka tidaklah memberikan kemewahan berupa banyaknya peluang untuk mencetak gol. Italia butuh sosok penyerang efisien bertipe one chance, one goal.

Ketiadaan striker haus gol ini akan membuat tim azzuri miskin peluang untuk meraih prestasi. Dalam dua dekade ini, Christian Vieri adalah striker tertajam Italia dengan mencetak 23 gol dari 49 penampilannya di tim nasional, 9 gol diantaranya dicetak di Piala Dunia 1998 dan 2002. Di dua Piala Dunia dimana Vieri tampil gemilang tersebut, Italia hanya kalah adu penalti dengan Prancis di 1998 dan kalah kontroversial dari Korea Selatan di 2002.

Keberhasilan Italia tanpa sosok striker tajam terjadi di Piala Dunia 2006. Anomali ini tercipta karena mereka memenangi trofi emas Piala Dunia tersebut berkat penampilan kolektif dan cemerlangnya lini pertahanan, dimana mereka hanya kebobolan dua gol saja sepanjang turnamen.

Kini Italia menghadapi kondisi berbeda menyambut Euro 2012. Pelatih Cesare Prandelli berkali-kali menegaskan Italia tidak akan bermain bertahan. Namun kendalanya, Prandelli tidak lagi memiliki sosok prima punta. Beberapa kandidat posisi nomor 9 tersebut tampil kurang impresif musim ini. Gianpaolo Pazzini harus rela ikut ke Jakarta saja dalam tur bersama Inter Milan dan bukannya ke pusat latihan timnas, Alessandro Matri, Pablo Osvaldo dan Alberto Gilardino yang juga semula diharapkan, malah tampil tidak konsisten sehingga Prandelli meninggalkan mereka.

Italia memang masih punya Mario Balotelli, pemain berkarakter si nomor 9 terbaik dari yang tersisa saat ini. Namun ulah “maverick” sang wonderkid membuatnya tidak bisa diharapkan sepenuhnya untuk menjadi tumpuan mereka dalam mendulang gol. Prandelli seperti memasang bom waktu yang dapat meledak kapan saja dalam ruang gantinya. Jika dalam form dan attitude terbaiknya, Balotelli memang calon pemain kelas dunia. Momentum Euro 2012 ini seharusnya dia jadikan sebagai pembuktian kapasitasnya kepada semua yang meragukannya.

Prandelli menggantungkan asa kepada pemain paling berbakat dari generasi sebelum Balotelli, yaitu Antonio Cassano. Fantanito, si nomor 10, terlihat sudah mulai menemukan kembali sentuhannya setelah menjalani operasi jantung. Namun agak riskan untuk memaksakannya bermain penuh di sebuah turnamen besar dengan waktu recovery yang singkat. Fantanito butuh dukungan maksimal.

Jika sosok si nomor 9 dan nomor 10 masih diragukan karena alasan yang berbeda, Prandelli perlu menyiapkan si nomor 18, 19 dan 20 yaitu para penyerang pelapis. Sayangnya, keterbatasan yang dimiliki membuatnya terkesan melakukan panic call-up. Prandelli memanggil para penyerang hijau di posisi ini macam Mattia Destro dan Fabio Borini. Untungnya, Prandelli masih memiliki secercah harapan dalam diri dua pemain yang tampil gemilang musim ini, Sebastian Giovinco dan Antonio Di Natale, yang sekali lagi sayangnya mereka bukanlah sosok prima punta.

Jika ingin menapaktilasi kejayaan Piala Dunia tahun 2006, Prandelli harus meyakinkan bahwa barikade pertahanan yang dimilikinya sudah sebaik era Fabio Cannavaro cs. Ada harapan mengingat pertahanan Italia kini didominasi oleh para Juventini, yang memegang rekor kebobolan paling sedikit di Seri a. Dengan sudah pasti kompaknya mereka, saatnya naik kelas dan menjadikan Euro 2012 sebagai penahbisan kelegendaan.

Sebagai penggemar La Nazionale sejak Roberto Baggio nyaris sendirian membawa Italia ke final Piala Dunia 1994, saya tentu berharap Italia mampu mengeluarkan permainan terbaiknya di Polandia-Ukraina. Minta tolong ya, Super Mario. No more fire, no more darts, no more… Just give us goals!

“Oke mbak, saya pesan Large Peperoni with extra parmesan cheese! Gak pake lama!”

Tuesday, May 22, 2012

Menonton “Swansea City” di Liga Indonesia

The attractive side of Indonesian football

Seorang teman berkata "Gue kagak minat nonton pertandingan Liga Indonesia, mau IPL atau ISL sama aja. Mending nonton Liga Inggris." Kata-katanya menggambarkan ketidakpedulian, atau mungkin ketidaksukaannya kepada sepakbola Indonesia, realita yang sebenarnya harus dia sadari ketimbang mati-matian membela klub Eropa yang jauh disana dan tidak memiliki hubungan apapun dengan dia.

"Liga Indonesia itu mainnya kasar dan gak enak dilihat, wasit juga sering gak bener, bikin males nontonnya." Begitu lanjutnya. Saya mulai mengerti alasannya, yang mungkin juga alasan ini diamini sebagian besar orang Indonesia yang mengaku sebagai pecinta sepakbola.

Itu baru masalah teknis pertandingan, belum lagi bicara konflik dualisme federasi yang mungkin akan membuat bertambah mumet lagi pikiran teman saya itu, bertambah malas lagi menonton pertandingan sepakbola Indonesia.

Teman saya itu mungkin belum pernah menyaksikan pertandingan yang dimainkan oleh sebuah tim dari Kalimantan. Tim yang memainkan sepakbola dengan atraktif dan sangat enak dilihat. Tim itu adalah Persiba Balikpapan, tim yang berdiri pada tahun 1950 dan prestasi tertingginya adalah posisi 3 Liga Super Indonesia tahun 2009 (bukan babak delapan besar Liga Indonesia pada tahun 2006 - seperti tertulis sebelumnya). Tim yang secara tradisi bukanlah tim papan atas ini mampu memainkan sepakbola yang berfilosofi ball possession.

Beberapa kali saya menyaksikan mereka bertanding, mereka membuat saya merasa tidak sedang menyaksikan liga Indonesia. Selain Persipura dan Sriwijaya FC, merekalah tim yang enak ditonton, dengan kadar kenikmatan yang berbeda.

Jika Persipura dan Sriwijaya FC didukung skill tinggi dan materi pemain yang bagus, Persiba tidak seperti itu. Persiba adalah salah satu dari sedikit tim di Indonesia yang konsisten memainkan pola 4-3-3 dengan baik sepanjang musim ini. Lini tengah adalah senjata utama mereka dimana disitu bercokol 3 gelandang yang memainkan perannya dengan sangat eksepsional. Umpan-umpan pendek mereka peragakan, tidak seperti tim Indonesia lainnya yang umumnya mengandalkan umpan panjang.

Esteban Gullien berposisi sebagai deep-lying playmaker. Serangan selalu berawal dari pemain asal Uruguay yang juga piawai dalam eksekusi bola mati ini. Dia bisa dibilang Andrea Pirlo liga Indonesia. Gullien didukung oleh pasangan gelandang tengah box-to-box terbaik saat ini, Ahmad Sembiring dan Asri Akbar. Serangan tim berjuluk Beruang Madu inipun makin variatif didukung oleh dua bek sayap yang sering naik, Supriadi dan Heri Susilo. Sebuah pola permainan yang jarang diperlihatkan oleh tim dari Indonesia.

Khusus Ahmad Sembiring dan Asri Akbar, dynamic duo ini kerap muncul dari lini kedua dan bergerak ke segala arah permainan. Sering melepas tembakan jarak jauh ataupun muncul memanfaatkan pantulan dari lone-striker sekaligus kapten Aldo Baretto. Jika Anda melihat aksi Asri Akbar saat mereka bertandang ke Stadion Siliwangi menghadapi Persib Bandung, Anda akan melihat betapa efektifnya peran dari gelandang berusia 28 tahun itu. Dan bisa dibayangkan jika tim nasional Indonesia diisi oleh mereka berdua dan ditopang Ahmad Bustomi sebagai gelandang bertahan.

Prahara yang Persiba timbulkan bagi lawan tidak berhenti disitu saja, dua penyerang sayap gesit yang sama-sama berasal dari Jepang, Kenji Adachihara dan Shohei Matsunaga kerap memainkan variasi berupa crossing ataupun gerakan cut-inside yang diakhiri tembakan menyilang. Bahkan mereka kerap melakukan switching posisi yang sangat membingungkan lini pertahanan lawan.

Saat bertahan, mereka berlaku sebagai unit dimana para pemain saling melapis sehingga membentuk pertahanan solid yang dikomandoi bek asal Kroasia, Tomislav Labudovic yang berduet dengan Rahmat Latif. Lini pertahanan mereka makin aman dengan berdirinya Made Wirawan dibawah mistar gawang. Kiper yang tampil sangat gemilang saat Indonesia menahan imbang tanpa gol Arab Saudi dalam partai uji coba ini adalah salah satu penjaga gawang terbaik Indonesia saat ini.

Semua itu diramu oleh kejeniusan pelatih asal Inggris, Peter Butler. Pelatih yang berpengalaman di region ASEAN dan Australia itu mampu membuat tim yang bermain sangat menarik dan menguasai ball possession. Secara hiperbolik, kita bisa bandingkan mereka dengan Swansea City, Borussia Monchengladbach, Athletic Bilbao dan bahkan Barcelona sebagai master of tiki taka. Mereka adalah tim-tim yang dianggap memainkan sepakbola paling menarik saat ini.

Sayangnya Butler sudah tidak lagi menangani Persiba karena permasalahan yang kabarnya menyangkut masalah keuangan dan legalitas ISL yang turut membuat visa kerjanya bermasalah. Tugas berat kini berada di pundak pelatih baru mereka asal Jerman, Hans-Peter Schaller yang menggantikan Butler untuk tetap mempertahankan posisi Persiba di papan atas kompetisi ISL.

Kepergian Butler karena alasan non-teknis ini sangatlah disayangkan. Persiba dibawanya menjadi sebuah tim yang tengah menanjak dan nyaman di papan atas sekaligus memainkan sepakbola indah. Fondasi dan filosofi yang sudah dibangun terancam ambruk dan harus dibangun lagi dari awal. Padahal menurut Butler, Indonesia adalah permata sepakbola dunia yang terpendam. “Terbanglah ke Indonesia dan tontonlah pertandingan sepakbola langsung di Stadion, Anda tidak akan terkejut karena sebuah pertandingan yang disaksikan 40 hngga 50 ribu penonton bukanlah hal aneh disini.” Tutup Butler.

Terima kasih Butler, telah membawa “Swansea City” ke liga Indonesia.

Sunday, May 20, 2012

Perjalanan epik The Blues


John Terry, tetep gak mau ketinggalan

Crazy! Fairy tale! Wonderland! Epic!

Entah kata-kata macam apa yang mampu mewakili rangkuman perjalanan Chelsea musim 2011/2012 ini. Dua gelar prestisius yang diraih The Blues berupa Piala FA dan Liga Champions sama sekali tidak terbayangkan oleh siapapun jika melihat perjalanan roller-coaster yang mereka alami sepanjang musim.

Mereka mengawali musim dengan ekspektasi tinggi. Pelatih bereputasi tinggi bernama Andre Villas-Boas didatangkan, hasil-hasil bagus didapatkan. Strategi menyerang ala AVB merubah wajah Chelsea dimana pemain-pemain cepat macam Ramires dan Daniel Sturridge memegang peranan penting.

Namun perseteruan AVB dengan pemain senior mengakibatkan perpecahan dalam klub yang tercermin dari hasil-hasil buruk di lapangan. Belum lagi kasus rasis yang menimpa sang mistis John Terry yang sampai menjadi isu nasional berbuntut mundurnya Fabio Capello dari kursi kepelatihan The Three Lions. Puncaknya adalah ditinggalkannya Ashley Cole dan Frank Lampard dalam lawatan mereka ke San Paolo, Naples, di babak 16 besar Liga Champions melawan Napoli yang berujung kekalahan telak 1-3.

Kesabaran Abramovich sudah habis. Kekalahan 1-3 dari Napoli di turnamen trofi si kuping besar yang sudah menjadi obsesinya itu menjadi dosa tak termaafkan bagi Villas-Boas. Pelatih muda berbakat itu didepak, pro kontra melanda para pendukung yang mencibir labilnya sang oligarki, yang dianggap mulai mengikuti paham Zamparini-isme, merujuk pada kebiasaan Presiden Palermo Maurizio Zamparini yang hobi memecat pelatih, dan bahkan diisukan akan menangani sendiri Palermo musim depan.

Seperti tulisan saya
kemarin, Abramovich ternyata menyimpan senjata rahasia yang tidak pernah terpikirkan olehnya sekalipun dalam diri asisten AVB, Roberto Di Matteo. Italiano plontos yang selalu kalem dan pelit ekspresi ini tidak disangka mampu membangkitkan permainan The Blues dalam waktu yang sangat singkat.

Fernando Torres, Salomon Kalou, John Obi Mikel yang semula dicap sudah turun kelas menjadi pemain medioker bertransformasi menjadi pilar-pilar renaissance yang dibangunnya secepat kilat. Napoli mereka hajar balik 4-1, yang kemudian mempertemukan mereka dengan sang rival yang masih menyisakan rasa penasaran mereka, Barcelona.

Di dua leg melawan Barcelona inilah Di Matteo menunjukkan sentuhan emasnya. Menyadari bahwa manusia-manusia biasa Chelsea (kecuali John Terry yang mungkin bukan manusia biasa) bukan tandingan para alien Barcelona, Di Matteo mengembangkan strategi menunggu serangan lawan di belakang, lalu menyerang balik dengan memanfaatkan kekosongan yang ditinggalkan pemain bertahan lawan.

Orang sudah memvonis Barcelona akan mempertahankan gelarnya saat John Terry diusir keluar lapangan di
menit 37 saat leg kedua di Camp Nou. Namun siapa sangka kelihaian Ramires, bersahabatnya tiang gawang, ketangguhan Petr Cech dan ketenangan Fernando Torres mampu menjungkalkan para alien yang mempertontonkan sepakbola terbaik sepanjang masa itu. Sepakbola bukanlah melulu menyerang dan menguasai permainan. Darah Italia Di Matteo mengingatkan dunia bahwa bertahan adalah seni, yang mampu membawa Italia empat kali memboyong trofi emas Piala Dunia.

Banyak orang boleh berkata bahwa Chelsea dinaungi keberuntungan semata, sepakbola yang mereka mainkan juga dianggap sebagai sepakbola negatif dan tidak menarik. Namun sedikit yang menyadari bahwa mereka mempertontonkan kesabaran, kegigihan dan keteguhan mental. Bahwa dalam sepakbola, segalanya tidak pasti dan tidak ada tim yang selalu menang. Mereka memang bukan sekumpulan pemain yang mampu memainkan 30 passing dalam semenit, bukan tim yang mampu mencetak lebih dari 100 gol dalam semusim, namun mereka mampu menghukum lawan hanya dengan satu atau dua peluang saja.

Dan puncak panggung fairy tale Chelsea dan Di Matteo telah sama-sama kita saksikan semalam. Bermain sebagai underdog, Chelsea mampu membungkam tuan rumah Bayern Muenchen dengan cara yang dramatis. Banyak blogger dan media lain sudah membahas bagaimana Di Matteo menurunkan susunan pemain tidak lazim dengan memasukkan Salomon Kalou dan Ryan Bertrand di sektor sayap. Di Matteo menyadari berbahayanya serangan sayap Muenchen, maka dia menempatkan pemain ekstra disana. Begitu pula penempatan duo Franck Lampard dan John Obi Mikel untuk meredam double-pivot dinamis Bastian Schweinsteiger dan Toni Kroos.
Kredit pantas diberikan kepada pertahanan kokoh Chelsea yang melakukan 21 blok terhadap tembakan pemain-pemain Muenchen. Pertahanan kokoh yang dihuni duet Gary Cahill dan David "Sideshow Bob" Luiz ini sungguh menolong tim yang menderita akibat bolongnya lini tengah. Hal ini terjadi akibat Frank Lampard dan John Obi Mikel dikeroyok para gelandang Muenchen, buntut dari strategi penumpukan pemain sayap yang dilakukan Di Matteo.

Seakan sudah terbiasa dengan kesulitan -refleksi perjalanan mereka musim ini-, Chelsea tidak gentar saat Thomas Mueller menanduk umpan Toni Kroos di menit 83 untuk membuat Munich Fussball Arena meledak. Mereka terus mencoba menyamakan kedudukan. Kerelaan Fernando Torres mengorbankan posisi naturalnya demi memberi tekanan kepada Diego Contento dari sayap kanan membuahkan tendangan penjuru, yang akhirnya membawa Didier Drogba menyamakan kedudukan lewat sundulan kerasnya. Muenchen boleh mengutuk rangkaian kegagalan mereka memaksimalkan peluang yang sebenarnya bisa membuat mereka mengakhiri perlawanan Chelsea lebih awal.

Muenchen sebenarnya diberi satu kesempatan lagi untuk membawa pulang si kuping besar andai Arjen Robben mampu mengeksekusi penalti di babak perpanjangan waktu, namun penyelamatan heroik Petr Cech membuat pemain yang sudah gagal di dua final tahun 2010 itu kembali menjadi pesakitan.

Dan di drama adu penalti, Muenchen sepertinya kehabisan stok eksekutor handal. Ivica Olic sudah bukan lagi penghuni skuad reguler. Bastian Schweinsteiger sebenarnya sudah menunjukkan ketidaksiapan mentalnya terlihat dari ketakutannya dia menyaksikan eksekusi Robben sebelumnya. Robben sendiri nampaknya mengalami traumatik sehingga tidak dimasukkan ke daftar eksekutor.

Chelsea terlihat sudah siap dengan situasi tos-tosan ini. Terbukti Petr Cech telah mempelajari video adu penalti Muenchen lawan Madrid di semifinal, dengan mampu menebak seluruh tendangan yang dilakukan eksekutor Muenchen. Dia menepis tendangan Ivica Olic, yang menegaskan bahwa si pemain kidal cenderung mengarahkan bola ke sebelah kanannya. Dan akhirnya eksekusi dingin Didier Drogba menorehkan tinta emas dalam sejarah Chelsea untuk merebut trofi Liga Champions kali pertama.

Rasa penasaran Abramovich sudah terjawab, begitu pula rasa dahaga Didier Drogba dan Frank Lampard, duo pemain senior yang sudah di usia senja dan boleh jadi sudah mendekati akhir karirnya. Namun bagi Di Matteo, yang nampaknya pasti dipermanenkan jika Abramovich asal sang oligarki tidak dalam keadaan hangover saat mengambil keputusan, ini adalah awal dari sebuah era baru.

Jika dunia melihat Di Matteo yang dalam kondisi "kepepet" sepanjang musim ini mampu membawa Chelsea meraih prestasi gemilang, kini publik menanti apakah Di Matteo mampu menahkodai kapal besar ini dalam kondisi lebih pasti dan tenang. Namun kondisi yang kondusif itu sudah ditunggu hadangan badai yang pasti lebih kuat. Keberuntungan juga belum tentu menyapa lagi, entah dalam bentuk tiang gawang atau apapun.

Tapi lupakanlah sekilas esok hari, saatnya The Blues merayakan momen bersejarah ini. Selamat, Blues! Selamat, Di Matteo!

Saturday, May 19, 2012

Kenapa Chelsea harus pertahankan Roberto Di Matteo

The Italian talented manager

Gelar juara Piala FA, final Liga Champions, suasana kondusif ruang ganti, membaiknya permainan para pemain. Apa lagi yang harus dibuktikan oleh Roberto Di Matteo?

Di Matteo, Italiano berwajah Asia kelahiran Swiss ini adalah seorang gelandang jempolan semasa bermain. Umpan akurat dan tendangan jarak jauh adalah spesialisasinya. Lazio dan Chelsea adalah klub yang membesarkan namanya hingga malang melintang di tim nasional Italia dan bermain sebanyak 34 kali, termasuk keikutsertaan di Piala Eropa 1996.


Semasa bermain di Chelsea, Di Matteo mampu mengomandoi lini tengah yang tangguh berkat kolaborasi apiknya bersama Gustavo Poyet, Dan Petrescu dan Dennis Wise. Di Matteo membawa Chelsea memenangi berbagai gelar bergengsi, dari Piala FA (1997 dan 2000) hingga gelar UEFA Cup Winners Cup dan Piala Super Eropa (1998), yang membuat Chelsea menjadi tim yang diperhitungkan.


Di Matteo kemudian tercatat sebagai best eleven Chelsea sepanjang masa namun ironisnya harus mengakhiri karir lebih dini akibat cedera patah kaki saat membela tim kosmopolitan ini. Usia 31 tahun terlalu muda untuk akhir karir seorang pemain profesional.

Di Matteo kemudian memulai karir kepelatihannya di klub Milton Keynes Dons. Dia mengajak rekannya semasa bermain di Chelsea, Eddie Newton. Di MK Dons, Di Matteo membawa klub London tersebut ke posisi ketiga klasemen League One. West Bromwich Albion kemudian mendapatkan jasanya. Di Matteo membuat impresi dengan meloloskan WBA ke Premiership di musim pertamanya. Namun dalam partai debut bersama WBA di English Premier League, Di Matteo menyaksikan anak asuhnya dibantai oleh klub kesayangannya, Chelsea, enam gol tanpa balas.


Di Matteo sempat menjadi Manager of the month September 2010 English Premier League untuk kemudian dipecat akibat hasil-hasil buruk menghapiri WBA.
Di Matteo menemukan bahwa Chelsea adalah rumahnya. Saat ditawari manajemen untuk mendampingi Andre Villas-Boas sebagai asisten manajer, dia langsung mengiyakan.

Villas-Boas adalah pelatih muda dengan CV mentereng. Gajinya selangit dan metodenya revolusioner. Apa yang didapatnya berupa prestasi bersama Porto membuatnya merasa bisa berkata pada penghuni skuad "I am the boss."


Villas-Boas tidak kenal kompromi. Dia memaksakan Chelsea bermain sesuai metode dan kemauannya, bermain cepat dan menyerang dalam formasi 4-3-3. Hal ini sangat berlawanan dengan ciri khas Chelsea sebagai tim yang bermain lambat tapi pasti.
Pemain-pemain senior juga dengan berani ditinggalkannya. Frank Lampard dan Didier Drogba bukanlah favoritnya. Dia tidak menyadari bahaya dari tindakannya.

Para senior itu dibela John Terry, sang kapten yang sudah seperti makhluk mitos diruang ganti. Pembangkangan terjadi, hasil di lapangan tidak bersahabat, Villas-Boas dipaksa menerima pesangon jutaan pound untuk angkat koper dari Stamford Bridge.
Si pemilik tak sabaran, Roman Abramovich mengontak Guus Hiddink, kolega lamanya yang sempat menjalani periode fantastis di Chelsea, namun sang meneer menolak. Jadilah Roberto Di Matteo diangkatnya sebagai caretaker.

Di Matteo mengambil langkah sederhana. Dia hanya mengambil jalan berlawanan dengan Villas-Boas yang telah diamatinya selama 8 bulan. Dia mengubah pola 4-3-3 warisan AVB menjadi 4-2-3-1, formasi paling lazim di Eropa saat ini, sebagai upayanya melindungi lini belakang dengan dua orang gelandang yang melapisi pertahanan. Dia juga mendatangi pemain senior, mengajak semua pemain berbicara secara personal dan mendengarkan ide-ide mereka.


Kekuatan mendengarkan tersebut sangat dahsyat. Chelsea kembali segar. Pemain senior kembali ke lapangan membimbing para newcomers untuk mengawali berbagai streak kemenangan dan periode positif the blues. Posisi liga membaik, begitu pula performa di Piala FA dan Liga Champions.


Di Matteo menggerakkan Chelsea sebagai unit, bukan Chelsea muda dan bukan Chelsea senior. Pengalamannya sebagai bekas pemain membuatnya lebih dihargai. Kultur Italiano yang melekat membuatnya mampu menyadarkan para punggawa Chelsea bahwa sebuah tim tidak hanya harus menyerang, namun juga harus bertahan dengan baik. Bertahan adalah seni, yang dia tunjukkan kepada dunia saat menghadapi Barcelona.
Bersama Vincenzo Montella dan Antonio Conte, Di Matteo adalah pelatih masa depan Italia.

Nasib Di Matteo bagaimanapun belumlah jelas meski berhasil membawa angin segar kepada The Blues. Abramovich yang merasa mengerti sepakbola ini bisa saja sekadar membandingkan Di Matteo dengan Avram Grant, yang hanya berselisih satu tendangan terpeleset John Terry saja untuk menjadi yang terbaik di Eropa di Moscow tahun 2008.


Entah Roman menyadari atau tidak, Di Matteo bukan sekadar membawa Chelsea juara Piala FA dan melaju ke final Liga Champions, tapi Di Matteo membuat pemainnya mampu mengeluarkan permainan terbaiknya. Itulah sebenarnya yang diharapkan dari seorang manajer tim.
Pelatih Bayern Muenchen, Jupp Heynckes bahkan memberikan dukungannya. Menurutnya, harmoni dalam tim adalah hal terpenting yang harus dibentuk seorang manajer. "You need continuity at clubs. The harmony between the players and the coach is very important, and I don't think there's any argument for him not to continue."

Lihatlah sekarang performa Fernando Torres yang kini lebih pede berkali-kali lipat ketimbang enam bulan lalu. Di Matteo bahkan lebih sukses memaksimalkan Torres ketimbang Carlo Ancelotti.
Lihat pula bagaimana dia menjadikan pertahanan Chelsea yang semula keropos kini menjadi kokoh bagaikan batu karang. Dia mampu menjadikan Garry Cahill tandem pas buat John Terry, namun tidak mematikan potensi David Luiz.

Pemain yang semula dianggap sudah habis macam Salomon Kalou juga mulai kembali. Kalou terbukti mampu mencetak beberapa gol dan assist penting belakangan ini, diluar keraguannya dalam menembak ke gawang yang memang sudah menjadi naluri dasarnya.
Anda juga perlu melihat kiprah Michael Essien yang kini berjuang mengembalikan performa terbaiknya sebelum cedera, dan jangan lupakan Ramires dan Juan Mata yang kini menjadi roh permainan. Tidak lupa, Di Matteo kerap memberikan jam terbang kepada beberapa pemain muda. Nama Ryan Bertrand dan Sam Hutchinson kini mulai akrab di telinga pecinta EPL.

Apapun hasil pertandingan malam ini melawan Bayern Muenchen, Abramovich layak mempertahankan Di Matteo, yang mungkin saat ini sedang mengotak-atik komposisi lini belakangnya yang tanpa John Terry serta tidak fitnya Gary Cahill dan David Luiz.


Anda tidak bisa menyalahkan secara total tim yang memainkan kuartet Paulo Ferreira-Jose Bosingwa-Cahill/Luiz-Cole jika mereka menderita menghadapi Frank Ribery-Arjen Robben-Thomas Mueller dan striker yang tengah on-fire, Mario Gomez.  Anda tidak juga bisa mengesampingkan Chelsea akan menghadapi pertaruhan besar. It's do or die game buat Chelsea yang akan menjadikan pertandingan nanti malam menarik. Mereka harus menang jika ingin kembali bermain di Liga Champions musim depan. 


Rasa penasaran Didier Drogba cs akan menghadapi optimisme tinggi tim tuan rumah yang dilatih oleh Jupp Heynckes, si pemilik ambisi menjadi pelatih keempat yang membawa dua klub berbeda menjuarai Liga Champions. 

Apapun hasilnya nanti, open your eyes, Roman!

Friday, May 18, 2012

Rating Pemain AC Milan musim 2011/2012

Sebuah hattrick sensasional Diego Milito dan kemenangan Juventus atas Cagliari menjadikan akhir musim yang anti-klimaks untuk AC Milan. Milan yang di awal musim dijagokan untuk mempertahankan gelarnya, kini harus merelakan gelar prestisius kompetisi sepakbola tertinggi Italia kepada rival lamanya, Juventus.

Juventus, yang secara tradisi menguasai seri a memang bangkit musim ini. Kedatangan Antonio Conte membawa kembali lo spirito Juve yang legendaris itu sehingga mampu membawa Juve menjadi satu-satunya tim yang tidak terkalahkan dalam semusim.

Selanjutnya, Milan lebih akrab dengan permasalahan cedera pemain yang tidak kunjung mereda. 10 hingga 11 pemain utama bergantian mengisi ruang perawatan, yang ironisnya dipandang sebagai yang tercanggih di dunia sepakbola, Milan Lab.

Milan dibawah asuhan Max Allegri bermain dengan pendekatan beda. Allegri mengumpulkan para gelandang petarung di lini tengahnya, yang membuat Milan menjadi tim yang bermain dengan garang. Namun di beberapa pertandingan, Milan terlihat miskin kreasi dan hanya mengandalkan seorang Zlatan Ibrahimovic dengan gerakan-gerakan ajaibnya.


Milan juga gagal di Liga Champions karena perbedaan kelas yang memang jauh dari Barcelona, tim yang menyingkirkan mereka. Sedihnya, pemain-pemain yang biasanya memberikan kelas itu kini sudah hengkang. Tidak ada lagi nama Alessandro Nesta, Gennaro Gattuso, Mark Van Bommel, Claerence Seedorf dan Filippo Inzaghi musim depan.
Pencapaian Allegri, walaupun masih prematur untuk dinilai, masih belum menapaktilasi kelas Milan era Carlo Ancelotti. Di Musim pertamanya mengarungi Liga Champions, Milan disingkirkan Tottenham Hotspurs di babak 16 besar, dan bahkan tidak mampu sekalipun menjebol gawang mereka. Musim ini lebih baik dimana Milan bermain apik menghadapi Barcelona, sebelum dihentikan oleh banyak kejadian ganjil.
Berikut saya berikan rating dan penilaian singkat pemain-pemain Milan yang bermain sepanjang musim 2011/2012, sebelas pemain inti dan beberapa pelapis yang cukup sering bermain.


1.     Christian Abbiati

Penjaga gawang berpengalaman ini terbukti masih menjadi sosok krusial dibawah mistar gawang Milan. Penyelamatan-penyelamatan penting dan refleks yang nyaris mustahil masih kerap ia lakukan. Namun permainannya masih lebih baik dan lebih stabil musim lalu.
Nilai: 7
 
2.     Marco Amelia

Kiper ini sebenarnya berbakat dan keluar masuk tim nasional kala bermain apik di Livorno. Namun beberapa blunder dan kesalahan-kesalahan yang kerap dilakukannya membuatnya masih belum memberi ketenangan bagi pemain-pemain Milan.
Nilai: 6

3.     Ignazio Abate

Sama seperti Abbiati, permainan bek kanan yang kini menjadi pelapis Cristian Maggio di tim nasional ini masih lebih baik di musim lalu. Memang daya dobraknya dari sisi kanan penyerangan Milan masih salah satu yang terbaik di Italia, namun sebuah blunder krusial saat melawan Barcelona yang berakibat gol yang dicetak Andres Iniesta dan dua buah blunder yang dibuatnya pada dua laga derby melawan Inter Milan membuatnya masih belum layak untuk disematkan sebagai full back berkelas dunia.
Nilai: 6,5

4.     Luca Antonini

Permainan Antonini masih jauh dari yang dia tunjukkan dua tahun lalu, ketika dia bersinergi dengan baik bersama Ronaldinho dibawah asuhan Leonardo. Ia sekali bermain baik saat Milan menahan Barcelona tanpa gol di San Siro, namun selanjutnya tidak mampu mengulangi performa apik tersebut sehingga Milan masih perlu kembali merekrut bek kiri lain.
Nilai: 5,5

5.     Daniele Bonera

Permainan bek yang semasa bermain di Parma dianggap sebagai talenta besar ini sebenarnya cukup baik dan cukup memberikan kontribusi positif saat Alessandro Nesta atau Thiago Silva absen. Pengalamannya membuatnya masih layak berseragam merah hitam.
Nilai: 6,5

6.     Alessandro Nesta

Kualitas bek yang dikatakan Allegri muncul hanya 50 tahun sekali dalam dunia sepakbola ini memang terbukti masih mumpuni memimpin sector pertahanan Milan. Kematangannya terbukti mampu membimbing Thiago Silva untuk menjadi bek kelas dunia. Sayangnya umur tidak mampu menipu. Sandro merasa sudah tidak mampu lagi bermain di level tertinggi sehingga memutuskan hijrah musim depan.
Nilai:  6,5

7.     Thiago Silva

Dia dianggap bek tengah terbaik dunia saat ini. Kemampuannya yang meningkat amat pesat membuatnya tak tergantikan di lini pertahanan. Saat dia absen, pertahanan Milan menjadi keropos dan sayangnya itu terjadi di laga-laga krusial penentuan gelar. Fans setia Milan berharap ia setia dan menjadi Paolo Maldini baru.
Nilai: 7

8.     Philippe Mexes

Kedatangan pemain asal Prancis ini semula melegakan fans Milan karena pemain jangkung ini dianggap mampu menjadi pelapis Nesta yang sudah menua. Sayangnya cedera lebih akrab dengan pemain ini. Pertengkarannya dengan Allegri malah membuatnya disebut-sebut akan meninggalkan Milan di musim panas ini.
Nilai: 6

9.     Djamel Mesbah

Pemain asal Aljazair ini direkrut di musim dingin dari Lecce untuk menambal lubang di sisi kiri pertahanan Milan. Memainkan beberapa game yang lumayan namun tampil buruk kala menghadapi Arsenal. Masih belum sepenuhnya memenangkan hati para tifosi.
Nilai: 6

10.  Mario Yepes

Bek veteran asal Kolombia ini kurang berkontribusi lantaran kerap cedera. Namun pengalamannya membuatnya mampu bertahan dan memberikan beberapa penampilan memukau, contohnya saat menjebol gawang Lecce.
Nilai: 6

11.  Mark Van Bommel

The dirty job-man di lini tengah Milan ini adalah alasan Allegri berani melepas Andrea Pirlo. Kelugasannya bermain dan kemampuannya memotong serangan lawan sebenarnya masih dapat diandalkan walaupun sering membuahkan hukuman kartu, namun faktor usia menjadi hambatan yang membuatnya kerap cedera. Van Bommel sudah dipastikan akan bergabung dengan klub lamanya, PSV Eindhoven di musim panas mendatang.
Nilai: 6,5

12.  Antonio Nocerino

Pemain ini adalah best transfer Milan musim ini. 10 golnya di seri a adalah kejutan yang menyenangkan bagi tifosi. Walaupun masih minim kreativitas, penempatan posisi yang handal serta naluri gol yang tinggi membuatnya disukai fans. Patut ditunggu apakah Nocerino mampu mengatasi sindrom musim kedua nanti.
Nilai: 7,5
 
13.  Sulley Muntari

Dipinjam dari Inter Milan di musim dingin karena krisis gelandang yang menimpa Milan, Muntari malah tampil memenuhi ekspektasi. Beberapa gol dan assist mampu diukirnya dan konsistensi permainannya membuatnya rajin menghuni starting eleven hingga akhir musim. Berpeluang dipermanenkan.
Nilai: 6,5

 14.  Urby Emanuelson

Posisi naturalnya adalah bek kiri, namun Allegri menjadikannya pemain multi posisi yang berguna dalam perjalanan Milan musim ini. Ia mampu bermain baik di posisi gelandang kiri, gelandang kanan bahkan trequartista. Pemain asal Belanda ini hanya perlu mengasah ketajaman dan agresivitas.
Nilai: 6,5

15.  Kevin-Prince Boateng

Seperti Nocerino, Boateng adalah kejutan yang menyenangkan untuk tifosi. Permainannya yang eksplosif dan sering menentukan adalah kelebihan yang dimiliki pemain Ghana ini yang mengubah pendekatan permainan Milan. Sayangnya ia kerap cedera karena dampak buruk dari hubungan pribadinya dengan Melissa Satta. Karena sering menghilang di lapangan, kontribusinya menurun dibanding musim lalu.
Nilai: 6

16.  Massimo Ambrosini

Kapten berusia 34 tahun ini ternyata masih dibutuhkan Milan. Permainan apiknya di pertengahan hingga akhir musim membuatnya masih dapat mengenakan seragam merah hitam musim depan.
Nilai:  6

17.  Robinho

Milan memang membelinya dari Manchester City dengan harga miring (“hanya” 18 juta euro dari harga belinya 32 juta dari Madrid). Namun sayangnya Robinho bukanlah penyerang yang mampu membuat lebih dari 20 gol dalam semusim, terbukti dari seringnya dia membuang peluang emas didepan gawang. Rumor berkembang bahwa dia akan kembali ke Brazil, walaupun sebenarnya masih cukup dibutuhkan Milan
Nilai: 6

18.  Alexandre Pato

Jangan pertanyakan talenta kekasih Barbara Berlusconi ini. Dalam  bentuk terbaiknya, Pato adalah penyerang berkelas dunia. Kemampuan tehnik dan kecepatannya yang eksepsional adalah kelebihannya yang amat berharga. Sayangnya, kerapuhannya yang membuatnya kerap cedera membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu di ruang terapi
Nilai: 6

19.  Antonio Cassano

Cassano adalah penyerang berbakat terbaik yang dimiliki Italia saat ini. Kelasnya dapat disamakan dengan Alex Del Piero dan Francesco Totti. Sebelum kolaps karena serangan jantung, Cassano menunjukkan permainan terbaik dalam karirnya.  Kecerdasannya adalah garansi bagi terciptanya banyak gol untuk Milan.
Nilai: 6,5

20.  Stephan El Shaarawy

Bocah ajaib ini mampu menorehkan penampilan bagus setiap diturunkan, dan diyakini akan terus berkembang. Olah bola yang prima serta tembakan yang akurat dapat membuatnya menyamai potensi Alexandre Pato dalam tahun-tahun mendatang.
Nilai: 6,5

21.  Zlatan Ibrahimovic

Tidak banyak yang dapat dikatakan dari pemain ini. Salah satu dari beberapa pesepakbola terbaik dunia saat ini. Pusat permainan Milan dibawah asuhan Allegri.
Nilai: 8

22.  Maxi Lopez

Tidak banyak bermain karena minim kesempatan, namun bermain baik saat diberi kesempatan. Pengalamannya di seri a bersama Catania sangat membantu adaptasinya.
Nilai: 6,5