Pages

Thursday, December 29, 2011

Setelah PSSI tandingan, lalu timnas tandingan?

Rasanya makin aneh melihat bangsa ini. Segala persoalan diselesaikan dengan tandingan yang menabrak sana sini. Memang sudah karakternya, yang punya kekuasaan selalu menyalahgunakan kekuasaannya, sementara yang merasa ditindas penguasa menempuh segala cara untuk mendongkel penguasa yang ada. Setelah liga sepakbola tandingan, kini Indonesia menghadapi fase yang makin ngawur. Perkenalkan: PSSI tandingan!

Sekelompok orang yang membentuk KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia) ini awalnya menggelar rapat sepakbola nasional, lalu dari hasil rapat anggota PSSI itu, muncul ide untuk mengadakan KLB (Kongres Luar Biasa) guna menurunkan Djohar Arifin dari kursi ketua umum PSSI.

PSSI menanggapi dingin hasil rapat itu, malah terkesan menantang KPSI. Hal inilah yang memicu terbentuknya PSSI tandingan.

Okelah PSSI memang bikin kacau dan mengotori olahraga rakyat ini. Pengharaman kompetisi ISL termasuk mengasingkan pemain-pemainnya dari timnas adalah blunder terbesar dan terkacau yang saya pernah lihat dalam sebuah organisasi sepakbola. Ketidakmampuan PSSI dalam menyusun format kompetisi yang baik serta ketidakbecusan mereka menyelesaikan masalah internal kepengurusan klub-klub peserta kompetisi yang akan mereka rangkul adalah kegagalan nyata PSSI. PSSI nanti lebih suka membentuk tim nasional sepakbola yang berisi kumpulan pihak yang mau manut sama mereka, bukan tim nasional yang berisi pemain-pemain terbaik dari negeri.

Ironisnya, ngawurnya PSSI ini diikuti dengan KPSI yang ingin membuat PSSI tandingan! Kalo dari berita yang saya dengar, PSSI tandingan itu udah punya struktur sedemikian rupa untuk menjalankan sebuah organisasi sepakbola. Yang saya sebagai orang awam bingung adalah kemana muara dari PSSI tandingan ini?

Muara organisasi sepakbola suatu negara adalah timnas. Timnas yang sah tentu timnas yang bisa mengikuti kompetisi dibawah naungan FIFA. Lalu apa yang akan dilakukan PSSI tandingan pada akhirnya? Membuat timnas tandingan? Apa bedanya kita sama timnas Basque, atau timnas Catalonia di Spanyol? Mereka punya timnas yang kadang melakukan pertandingan eksebisi, tapi tidak pernah bisa mengikuti turnamen yang diadakan FIFA. Lalu apa inti dari perjuangan mereka ini?

Yang diinginkan rakyat sebenernya simple. Gak ada lagi rusuh sepakbola, liga berjalan normal tanpa liga tandingan. Biarin lah timnas kita masih kalah terus, tapi setidaknya jika kompetisi berjalan normal, ada harapan buat timnas kita untuk membaik prestasinya.

Ibarat Fight fire with fire, kenapa persoalan di bangsa ini selalu diselesaikan dengan kekerasan? Perbedaan yang ada makin dimunculkan, lalu dilegitimasi dengan sistematis sehingga menghasilkan perpecahan? Kubu A dan kubu B, si A gak mau disalahin, si B gak mau disalahin. Eskalasi kekacauan di sepakbola ini sama dengan kekerasan yang kita lihat belakangan ini di televisi. Pada akhirnya tidak ada yang menang, semua kalah. Sepakbola kalah. Bangsa ini kalah.

Semoga hari esok lebih baik dari hari ini.

@aditchenko

Menunggu keputusan Barbara Berlusconi


Tingginya traffic blog saya di artikel http://footballerwannabe.blogspot.com/2011/05/barbara-berlusconi-dan-ac-milan.html cukup membuat saya bertanya-tanya. Okelah Barbara Berlusconi emang bisa dibilang Direktur klub sepakbola paling cakep saat ini, tapi kalo emang mau browsing cewek cakep, banyak model atau artis beneran yang lebih cakep daripada Barbara.

Ada satu hal lagi yang cukup menarik perhatian saya yaitu banyak orang Perancis yang view posting saya tentang Barbara itu. Saya tau mereka orang Perancis karena aplikasi Live-viewer yang menunjukkan lokasi dimana viewer itu melihat. Bukan bermaksud narsis, tapi fakta itu membuat saya mencari tau, apa istimewanya Barbara dimata orang-orang Perancis?

Lately, media di Perancis dan Italia memberitakan langkah dari klub raksasa baru Perancis, Paris Saint Germain (PSG) untuk membeli Alexandre Pato! Yah saya langsung bisa read between the line, bahwa Barbara yang notabene pacar dari Pato ternyata ikut-ikutan jadi objek yang diburu orang-orang Perancis, khususnya suporter PSG yang sangat antusias akan rumor ini.

Didatangkannya Carlo Ancelotti dan bintang-bintang macam Javier Pastore, Kevin Gameiro dan Jeremy Menez membuat PSG kian diperhitungkan. Gerak-gerik mereka di bursa transfer makin merajalela dengan ditunjuknya Leonardo sebagai Sport Director. Leo ingin membangun tim bintang dengan bantuan dana besar dari Sheikh Qatar-nya. Baru-baru ini, selain Pato, dia juga mengincar Ricardo Kaka yang kembali menghuni bangku cadangan Real Madrid. Usaha Leonardo ini juga kian Me-Milan-kan PSG. Selain Kaka dan Pato, PSG juga mengincar David Beckham, yang juga ex-Milan. Faktor Carlo Ancelotti yang pernah sukses di Milan membuat peluang PSG mendatangkan mereka menjadi cukup besar.

Berita di sambafoot.com mengabarkan Pato telah menerima tawaran PSG, entah bagaimana reaksi Barbara soal ini. Sekarang keputusan ditangan Direksi Milan. Snowball effect dari saga ini bisa mengarah ke Carlos Tevez. Keinginan Milan untuk memboyong Tevez bisa menjadi pemicu terwujudnya transfer ini. Roberto Mancini, manajer Manchester City, menegaskan bahwa klubnya menginginkan penjualan dari bintang Argentina itu, bukan peminjaman. Dana dari transfer Pato ke PSG disinyalir akan digunakan Milan untuk membeli Carlitos. Sementara dana dari penjualan Tevez akan digunakan City untuk membeli Robin Van Persie yang sedang menjadi satu-satunya pemain di Arsenal.

Apakah Pato pantas dijual Milan? Ini adalah pertanyaan bagus. Pato masih dianggap transfer terbaik Milan selain Kaka dari Sao Paulo dan Thiago Silva dari Fluminense. Dibeli di usia muda 18 tahun, Pato sudah mencetak 60 gol dari 135 pertandingannya dengan Milan. Rasio gol yang tinggi untuk pemain yang masih 22 tahun. Pato memiliki kecepatan dan skill yang eksepsional, serta kemampuan untuk menerobos pertahanan lawan sendirian. Form Pato saat ini memang sedang turun, hanya mencetak 1 gol dari 9 laga seri-a, tapi satu yang pasti, Pato adalah pemain yang berkelas, walaupun form-nya sedang anjlok.

Milan harus ingat ungkapan Class is permanent, form is temporary. Pato jelas pemain berkelas, masih muda dan bahkan masih bisa lebih hebat lagi. Permainan gak stabilnya bisa dipengaruhi cedera kambuhan dan komunikasi yang kurang nyambung dengan coach Allegri. Pato sekali berkomentar "Allegri menyuruh saya makan, tapi tidak memberitahu dimana mulut saya." Hal ini jelas berkaitan dengan permintaan Allegri kepada Pato untuk meningkatkan permainannya, tapi Allegri sendiri tidak menyebutkan spesifik di area mana permainan Pato harus ditingkatkan.

Hal ini bisa dijadikan dasar petinggi Milan untuk menjual Pato. Barbara sendiri diawal musim pernah bilang bahwa tidak ada pemain yang tidak tersentuh di Milan, termasuk Pato. Dari sorot matanya, Barbara adalah sosok berkarakter yang selalu means what she says. Di beberapa foto bersama Pato, Barbara juga sering terlihat berjalan didepannya, menegaskan betapa Barbara adalah sosok dominan, termasuk dalam hubungan percintaan mereka. Wajar, karena usia Barbara memang 5 tahun lebih tua daripada Pato.

Keputusan jitu Barbara dan petinggi Milan lainnya patut ditunggu. Pato atau Tevez, atau keduanya. Saya yakin petinggi Milan tidak akan segampang itu melepas Pato, mereka pasti berusaha mengusahakan deal dengan Tevez terjadi dalam bentuk peminjaman, supaya mereka tidak perlu menjual Pato. Pato adalah aset masa depan, sementara Tevez adalah pengganti sementara Cassano.

Bukan mengecilkan peran Tevez, menjual Pato adalah sebuah blunder. Tevez memang lebih menentukan daripada Pato di banyak kesempatan. Dengan kemampuan yang lebih komplet dan kengototan bermainnya, Tevez adalah kartu as bagi tim yang dibelanya. Milan memang butuh pemain sekelas Tevez jika ingin berjaya dalam waktu lama. Perpaduan Tevez, Ibrahimovic, dan Robinho di lini depan Milan akan membuat I Rossoneri menjadi klub dengan lini depan paling berbahaya di dunia. Ditambah Pato dan kesembuhan dari Cassano, tifosi Rossoneri bisa berharap banyak.

Kesuksesan Milan meraih scudetto musim lalu tidak terlepas dari winter transfer mereka dengan merekrut Cassano, Van Bommel dan Emanuelson. Ayo, langkah apa sekarang, Barbara dan petinggi Milan? Keputusan kalian akan menciptakan sejarah! Jika ingin mengejar Barcelona, langkah kalian harus benar!

Forza Milan!

@aditchenko

Monday, December 26, 2011

The Team Machine - Mereka yang menggerakkan tim.

Seperti ulasan saya sebelumnya di Playmaker Indonesia? (http://indonesianfootballdiary.wordpress.com/2011/12/12/playmaker-indonesia/) tentang pentingnya seorang playmaker, saya jadi tertarik ngebahas peran gelandang bertipe lainnya dalam sepakbola, khususnya sepakbola moderen. Pada dasarnya, permainan seorang gelandang akan tergantung pada strategi dan cara bermain sebuah tim, tapi seorang gelandang juga bisa merubah cara bermain tim. Saya mau mencoba membandingkan peran mesin-mesin dari tim ini dan bagaimana pengaruhnya terhadap cara tim bermain.

1. Defensive Midfielder / Holding Midfielder / Anchorman
Gelandang bertipe ini mutlak diperlukan di sepakbola modern. Tidak perlu punya gocekan dan umpanp-umpan bagus, gelandang angkut air ini lebih dilihat work-ratenya. Kemampuan tackling yang prima sangat signifikan, karena tugas utama gelandang ini adalah memutus serangan lawan sebelum mencapai wilayah pertahanan. Selanjutnya, gelandang bertahan ini menginisiasi serangan balik tim dengan memberikan short-simple pass kepada gelandang sayap atau gelandang serang. Makelele's Role. Demikianlah peran gelandang ini sesuai yang ditunjukkan oleh Claude Makelele pada saat masa jayanya di Real Madrid. Florentino Perez saat itu menutup mata terhadap peran gelandang kelahiran Kinsasha ini dengan mengatakan bahwa Makelele hanya bisa mengumpan ke belakang atau ke samping, oleh karena itu permintaan kenaikan gajinya agar sejajar dengan para galactico ditolak mentah-mentah. Hengkangnya Makelele berujung pada kejatuhan Los Galacticos.
Contoh: Claude Makelele, Gilberto Silva, Sergio Busquets, Lucas Leiva, Mark Van Bommel, Thiago Motta.

2. Box-to-box Midfielder
Sesuai namanya, box-to-box midfielder memiliki wilayah coverage paling luas dalam permainan sepakbola. Dari BOX penalti sendiri ke BOX penalti lawan. Gelandang ini yang utama adalah harus memiliki fisik prima, karena daya jelajahnya yang harus tinggi itu. Selanjutnya, aspek tehnik dan naluri ofensif juga diperlukan karena gelandang ini juga diharapkan mampu mencetak gol serta memberi assist. Fleksibilitas dan versatilitas gelandang inilah yang disinyalir mengeliminasi peran seorang playmaker. Mobilitas gelandang ini lebih bisa diandalkan untuk menggerakkan sebuah tim, sementara playmaker adalah si imajinatif yang sebenarnya termasuk spesies langka dalam sepakbola. Pemikiran menjadikan seorang gelandang dijadikan sebagai box-to-box midfielder alih-alih seorang playmaker boleh jadi diimplementasikan guna mengatasi kelangkaan stok fantasista.
Contoh: Patrick Vieira, Raul Meireles, Steven Gerrard, Ramires.

3. Deep-Lying Playmaker
Dengan coverage area yang lebih sempit, seorang deep-lying playmaker memiliki tugas berat. Dia harus mengalirkan bola ke depan dengan umpan-umpan jauh atau umpan pendek, mengatur tempo permainan, dan juga sebagai pemutus serangan lawan -meskipun biasanya gelandang ini tidak mempunyai kemampuan defense yang baik. Deep-lying playmaker berposisi didepan pemain belakang dan jarang berada di kotak penalti lawan atau teritorial sayap. Memasangkan deep-lying playmaker dengan anchorman yang diapit dua sayap agresif adalah strategi yang jamak digunakan. Bisa juga menggunakan satu deep-lying playmaker dipadu dengan dua orang anchorman dibelakang double playmaker dan seorang striker. Strategi ini dimainkan AC Milan saat menjuarai Liga Champion 2007 dimana Pirlo sebagai deep-lying playmaker ditemani Gattuso-Ambrosini sebagai anchorman menyeimbangkan double playmaker Kaka-Seedorf dan striker Pippo Inzaghi.
Contoh: Andrea Pirlo, Xabi Alonso, Jack Wilshere.

4. Playmaker
Playmaker juga dibagi dalam beberapa peran. Di Italia dikenal Trequartista (gelandang tiga perempat lapangan) dan Regista (Deep-lying playmaker). Secara umum, attacking midfielder memiliki tugas dan atribut kurang lebih sama dengan deep-lying playmaker. Seorang playmaker memiliki kemampuan membaca permainan plus menerobos pertahanan lawan dan mencetak gol. Barangkali inilah posisi pemain yang paling "jago" di sepakbola. Playmaker inilah yang mampu mengubah permainan dan strategi tim. Saat seorang playmaker bermain buruk, biasanya sebuah tim juga bermain buruk, walaupun tidak selalu begitu. Kepada pemain inilah bola diberikan, lalu dia mengalirkan lagi bola sesuai imajinasinya untuk membongkar pertahanan lawan.
Contoh: Diego Maradona, Xavi Hernandez, Zinedine Zidane, Paul Scholes, Kaka, Andres Iniesta.

5. Winger
Ryan Giggs-David Beckham (MU-1990an akhir), Kily Gonzalez-Miguel Angel Angulo (Valencia 1990an akhir) adalah salah satu contoh pair winger yang ideal. Si kidal menghuni sayap kiri, right-footer menempati sayap kanan. Kemampuan mereka manyisir sisi lapangan dan mengirim umpan tarik ke kotak penalti lawan adalah sumber petaka dari lawan-lawan mereka. Umpan akurat dan lari cepat (tidak berlaku untuk Beckham) sangat diperlukan pemain sayap. Tapi perkembangan penyerangan sayap kini sudah banyak dimodifikasi. Robbery (Robben-Ribery) adalah contoh penempatan dua pemain sayap secara invers. Robben yang kidal ditempatkan di sisi kanan, Ribery yang right-footed di sisi kiri. Bellamy-Downing di Liverpool juga menggunakan sistem ini, begitu pula Adam Johnson di City yang kadang-kadang dipasangkan dengan Samir Nasri untuk mengakomodir strategi the inverted winger. Strategi ini umumnya menyulitkan para pemain bertahan karena mereka bukanlah penggiring bola hingga ke garis goal kick lalu melepaskan crossing, mereka bermain lebih dari itu. Mereka tidak melulu melepas crossing tapi juga menusuk ke tengah lalu melepaskan tembakan ke tiang jauh atau melakukan kombinasi pendek dengan striker. Hanya, inverted winger ini lebih bernaluri menyerang daripada winger tradisional.

@aditchenko

Sunday, December 25, 2011

Emas dari Dagestan #1

Red square kini diselimuti salju tebal. Lapangan yang berwarna merah itu sedang tidak menampakkan kemerahannya karena tertutup kilaunya salju putih. Ismail hanya duduk memandangi lapangan yang dulu menjadi simbol kemegahan pasukan komunis Uni Sovyet itu dari dalam kaca mobilnya. Ayahnya, Safik berkonsentrasi mengendarai mobil Lada tua miliknya, membawa serta keluarga kecil ini ke sebuah kota besar. Bukan sembarang kota, tapi ibukota negara Rusia, Moskow.

Dihadapannya, berdiri angkuh bangunan tinggi berkepala bawang bombay. Komplek Kremlin ini memang sebuah fenomena dan manifesto dari kejayaan komunis. Peninggalan yang masih tersisa sebagai saksi bisu dari sebuah ideologi yang kini usang. Ideologi ini memang terdengar menjanjikan harapan, terutama bagi kaum pekerja, walaupun kemudian paham ini menjadi bergerak terlalu liar merambah ke ranah keingkaran terhadap eksistensi Sang Pencipta dan pengkultusan tokoh yang menjadi "imam" sekaligus pemakmuran segelintir kelompok juga disinyalir menjadi kegagalan komunisme.

Dagestan bukanlah kota dimana seorang bisa berjalan-jalan di taman pada sore hari, atau menikmati roti khas Rusia sambil duduk di kafe. Di kota sebelah tenggara Moscow itu, nyawa sesorang terancam kapan saja. Penembakan, penusukan, penculikan bukanlah hal aneh di wilayah bagian selatan Rusia ini. Safik, yang selama 5 tahun belakang hidup bersama keluarganya di daerah bergejolak tersebut, kini bisa bernafas lega. Moskow, walaupun bukanlah kota yang familiar buatnya, setidaknya memberi rasa aman baginya. Untuk saat ini, land of opportunity. Begitulah harapnya.

Pekerjaan sebagai buruh penambang emas perusahaan tambang emas bukanlah pekerjaan yang bisa dibanggakan. Upah harian 30 rubel hanya berkategori cukup, tidak lebih dan tidak kurang. Bahkan bisa dibilang kurang kalau perusahaan tempatnya bekerja sedang sepi proyek. Dirumahkan tanpa uang sepeserpun adalah hal yang harus dia terima. Sebenarnya Safik bercita-cita sebagai pesepakbola. Tumbuh melihat Lev Yashin bermain memotivasinya untuk menggeluti sepakbola. Tapi keadaan ekonomi yang tidak pernah pasti dan pendudukan dari pasukan Rusia membuatnya harus mengubur dalam-dalam cita-citanya. Pendudukan tentara Rusia juga membuat kesempatan penduduk daerah pendudukan menjadi terbatas.

Untuk menambah penghasilan, Safik bermain bola. Dengan mengandalkan kemampuannya mengolah si kulit bundar, dia sering menjuarai turnamen internal perusahaan atau kadang-kadang turnamen diluar perusahaan. Kepiawaiannya sebagai playmaker sudah terkenal. Kemampuannya dia turunkan kepada Ismail, putra sulungnya. Ismail tumbuh menyaksikan Alexandr Mostovoi, Valery Karpin dan Andrei Kanchelkis bahu membahu menyokong Beruang Putih menancapkan kukunya di kancah persepakbolaan Eropa.

Masa kecil Ismail dihabiskan di daerah konflik. Pernah suatu ketika sedang bermain bola, rentetan Kalishnikov dan ledakan hand grenade membahana. Ismail kecil yang baru akan mencetak gol dibuat terpana dan gelap. Setelah terbangun di pangkuan ibunya, Dinara, dia hanya mendapati cerita 3 orang kawan bermain bolanya tewas.

Peristiwa traumatik yang membekas itu sempat membuatnya berhenti bermain bola. Bukan karena dia takut, tapi karena ibunya mati-matian melarangnya. Tapi karena sepakbola sudah mengalir dalam darahnya, pembangkangan tak terhindarkan. Diam-diam Ismail masih sering bermain bola. Sepulang sekolah ataupun pada jam istirahat sekolah. Itupun jika keadaan aman. Kiprah Rusia di Euro 2008 Austria-Swiss hingga ke semifinal menjadi inspirasi buatnya.

Ismail kini sudah berusia 18 tahun. Di kota Moscow kini dia berharap melanjutkan cita-citanya. Cita-cita ayahnya yang direnggut paksa oleh perang. Dia ingin bermain di Euro 2012!

@aditchenko

Friday, December 23, 2011

The False Nine

Tulisan ini saya buat sembari meneduh di warung bakso. Gak bawa payung, padahal rumah udah deket. Gak penting juga sih.

Anyway, saya adalah penggemar sepakbola menyerang. Mau samba, atau tiki taka atau total voetball, yg penting menyerang. Entah udah lama atau baru, saya melihat ada variasi baru dalam penyerangan, yaitu the false nine.

Apa itu false nine? Secara harfiah, false nine berarti striker bohongan. Striker macam ini bukan striker klasik yang umumnya berpostur kokoh dan kerap menunggu bola di depan gawang lawan. Striker bohongan ini lebih mirip second striker, dia bisa bergerak ke segala arah, menjemput bola, bahkan merebut bola dan membantu pertahanan. Striker seperti ini tidak dituntut untuk memiliki postur kokoh, melainkan lebih diharapkan memiliki tehnik dan skill mumpuni. Striker ini dituntut untuk memiliki kemampuan olah bola, mengumpan dan tentu tidak lupa pada tugas utama: mencetak gol.

False nine ini paling mudah dilihat di Barcelona dan timnas Spanyol. Di Barca, Alexis Sanchez yang kebetulan bernomor 9 adalah striker, tapi dia lebih sering dimainkan melebar sesuai strategi Barca. Begitu pula Fernando Torres di timnas Spanyol. Torres harus rela berbagi produktivitas gol dengan David Villa, Xavi, Iniesta dan Silva. Strategi ini ampuh jika melihat lemari trofi milik dua tim ini.

Sekarang Italia terang-terangan ingin mengkopi gaya Spanyol. Selama kualifikasi Euro 2012, mereka memakai penyerang-penyerang bertubuh kecil. Antonio Cassano, Giuseppe Rossi, Sebastian Giovinco bergantian mengisi pos tersebut. Tidak ada lagi penerus Christian Vieri atau Luca Toni. Mereka seperti menyatukan Roberto Baggio dan Gianfranco Zola pada masa jayanya.

Baik Italia maupun Spanyol mengalami problem karena pola ini. Bukan salah polanya, tapi lebih karena implementer pola ini absen atau sedang off form. Cassano dan Rossi cedera panjang, hal ini memaksa allenatore Cesare Prandelli memutar otak untuk menggantikan mereka. Boleh jadi dia akan meminta Mario Balotelli memainkan peran the false nine, karena di antara striker Italia lain yang tersedia, dialah yang paling bertehnik. Di Spanyol, entrenador Vicente Del Bosque boleh jadi pening melihat kondisi Torres dan David Villa. Torres sedang flop, Villa patah kaki. Alternatifnya boleh jadi memanggil striker yang sedang on fire di La Liga, Roberto Soldado. Tapi memasang Soldado yang miskin pengalaman di turnamen sebesar Euro bukanlah hal bijak. Dengan demikian, Del Bosque bisa saja mendorong Cesc Fabregas ke pos false nine tersebut, seperti yang biasa dilakoninya di Barca.

Pola false nine ini seolah menjadikan para sayap pengumpan silang menjadi worthless. Gak ada penyundul yang baik untuk menyambut crossing akurat mereka. Pemain-pemain seperti Matty Etherington atau David Beckham mungkin gak banyak menunjang pola ini. Satu keunggulan pasti dari pola ini, bek-bek lawan pasti bingung mau menjaga siapa, karena memang tidak ada target man dan semua pemain bergerak dinamis. 

Ayo Indonesia! Apa mau coba pake false nine? :)

Thursday, December 22, 2011

Milan sahabat Liga Champions

Sebagai penggemar Milan, tentu saya senang dengan pencapaian tim ini belakangan. Scudetto musim kompetisi lalu setelah terakhir didapatkan tahun 2003 adalah sesuatu yang sangat melegakan. Sebelum ini, saya udah gak terlalu berharap banyak sebagai pendukung Milan karena prestasi beberapa tahun ini memang kurang membanggakan. Terakhir meraih gelar bergengsi adalah pada saat meraih Liga Champion 2007 saat Kaka menjadi pemain terbaik dunia, lalu setelah itu terjadi stagnansi prestasi. Banyak hal yang menjadi penyebabnya, salah satunya adalah lambatnya regenerasi pemain.

Penghargaan Milan kepada pemain yang telah loyal terhadap mereka dengan ganjaran yang sama adalah sisi unik klub ini. Di era modern dimana profesionalisme mengalahkan unsuk kekeluargaan dan sentimentalitas, klub tersukses di dunia ini malah melanggengkan hubungannya dengan pemainnya yang telah berjasa buat klub. Pemain yang memang ikonik dan legendaris macam Paolo Maldini dan Franco Baresi memang layak mendapat penghargaan tinggi dari klub. Di Milan, nampaknya tradisi ini akan terus dipelihara oleh petinggi klub. Tradisi yang boleh jadi memiliki dua mata pisau yang berlawanan.

Masa dekadensi dari permainan para legenda itu adalah hal yang harus diatasi. Keinginan mempertahankan para legenda tidak sejalan dengan kemampuan fisik mereka yang memang tidak mampu terus menerus bermain di level tertinggi. Setelah stagnansi, permainan tim menjadi mudah dibaca. Akibatnya, lawan-lawan Milan sudah hapal mati gaya dari Paolo, Claerence Seedorf, Andrea Pirlo, Gennaro Gattuso dan Pippo Inzaghi pada saat itu. Memang penyegaran dilakukan. Di 2008, megabintang Ronaldinho didatangkan. Tapi, saat itu usia Dinho sudah tidak muda lagi, dimana dia sudah berada di tahap ingin mencari kesenangan, bukan lagi mencari gelar juara. Terbukti dia beberapa kali tertangkap wartawan sedang berpesta di night club.

Kembali ke masa kini, Milan sekarang sudah jauh berbeda. Penyegaran dilakukan dengan memboyong pelatih Max Alllegri. Allegri adalah pelatih terbaik Italia 2008 saat dia menukangi Cagliari. Allegri sungguh beruntung. Baru sebulan menangani klub ini, dia "dihadiahi" Zlatan Ibrahimovic dan Robinho. Dua pemain juara ini plus kejutan dari Kevin-Prince Boateng adalah kunci dalam peraihan scudetto di tahun pertama Allegri. Ditambah lagi, politik transfer jenius dari Adriano Galliani dan Ariedo Braida berhasil mendatangkan Antonio Cassano, Urby Emanuelson dan Mark Van Bommel di bursa transfer musim dingin. Mereka bertiiga mampu melebur cepat dengan skuad lama Milan dan bersinergi dalam perburuan scudetto yang akhirnya mereka menangi.

Tapi ada yg mengganjal di pikiran saya. Saya punya opini bahwa Allegri belum menunjukkan sisi terbaiknya. Musim lalu, nyatanya Milan keok terlalu dini di Liga Champion atas lawan yang masih hijau, Tottenham Hotspurs. Ketergantungan Allegri pada sosok Ibra memang bisa dia atasi di Liga Italia, tapi di Liga Champions ceritanya beda. Serangan yang terpusat pada The Swedish Wizard ini bisa dengan mudah dipatahkan oleh tim yang memainkan penjagaan ketat pada bomber jangkung itu. Tahun ini boleh jadi adalah kesempatan terakhir Allegri membuktikan kapasitasnya di Liga Champions, karena nyatanya sampai saat ini perpanjangan kontraknya masih digantung oleh pihak klub.

"Liga Champions adalah DNA Milan" tegas Adriano Galliani.
Ekspektasi tinggi Rossoneri di Liga Champions adalah hal yang boleh jadi menentukan nasib Allegri. Silvio Berlusconi sudah kembali ke Milanello setelah pengunduran dirinya dari jabatan Perdana Menteri Italia akibat krisis ekonomi yang menempatkan Italia pada jeratan hutang. Milan adalah taman bermain Berlusconi. Di eranya, Milan lebih memprioritaskan gelar terbaik di benua biru ketimbang gelar domestik. Sebagian besar gelar yang didapat terjadi di eranya. Merasa berjasa, dia pernah berkomentar bahwa namanya layak diabadikan di dua stadion Milan. Silvio bahkan sudah menyiapkan anak cantiknya, Barbara untuk menjadi presiden masa depan Milan. Diluar royalnya dia dalam menghabiskan uang untuk Milan, Silvio seolah merasa sebagai peracik strategi, dimana hal ini melewati kewenangan pelatih. Carlo Ancelotti dan Leonardo adalah korbannya. Kegemaran Silvio terhadap pemain Brazil dan pola 2 striker seringkali mengintervensi preferensi dari dua pelatih itu.

Max Allegri adalah pelatih bagus. Di Cagliari dia mampu mengorbitkan Andrea Cossu, Davide Astori, Daniele Conti dan Radja Nainggolan sebagai pemain yang mampu bersaing di Seri a. Di Milan, sejauh ini Allegri memang mampu meredam ego para bintang macam Ibra, Robinho, Cassano maupun Pato. Tapi Allegri malah membuang Andrea Pirlo, yang justru bersinar di Juventus. Selain itu, keputusannya tidak mendaftarkan Pippo Inzaghi dan Stephan El Sharaawy di Liga Champions adalah sebuah blunder karena Cassano sakit jantung sehingga Pato, Ibra dan Robinho adalah striker tersisa yang eligible.

Allegri belum bisa dibilang lebih istimewa daripada Ancelotti dan Leonardo. Ancelotti kala itu merestorasi tim pasca kegagalan Fatih Terim di medio 2002. Penemuan terbaiknya tentu Andrea Pirlo sebagai deep-lying playmaker. Pirlo sukses menjadi salah satu gelandang terbaik dunia yang kemudian memimpin Italia menjuarai Piala Dunia 2006. Ancelotti juga mampu 2 kali membawa Milan ke Liga Champion dalam 6 tahun masa tugasnya.

Sementara Leonardo menurut saya bukanlah pelatih gagal di Milan. Saat itu Milan belum jor-joran di bursa transfer. Dengan kondisi itu, Leo berani memainkan pola super-ofensif: 4-2-4 atau dikenal 4-2 Fantasia. Jangan lupakan penemuan revolusioner Leo, yaitu Ignazio Abate. Leo dengan berani mengubah posisi Abate yang aslinya sayap kanan menjadi bek kanan. Kini Abate menjadi bek kanan terbaik di Italia.

So, pertaruhan Allegri boleh jadi di Liga Champions musim ini. Berlusconi mungkin memaklumi kalo Milan gak bisa juara, ada Barca dan Madrid yang lebih favorit. Tapi setidaknya tampil baik dan tidak tersingkir terlalu cepat adalah harga mati.

Allegri kini belum bisa tidur nyenyak. Tradisi Milan sebagai klub peraih gelar Liga Champions nomor dua terbanyak membuatnya terancam, even if dia kembali mempersembahkan gelar seri-a. Semoga sukses, Allegri! Forza Milan!

@aditchenko

Monday, December 19, 2011

Semangat lain di Sepakbola



Kali ini saya mau ngebahas sesuatu yg mungkin kurang seru dan kurang familiar. Athletic Bilbao. Apa istimewanya klub papan tengah dari provinsi Basque ini? Kalo bicara statistik, sejarah dan fakta, Bilbao adalah 3 serangkai klub La Liga yang belum pernah terdegradasi dari kompetisi kasta tertinggi Spanyol bersama Real Madrid dan Barcelona. Bilbao sudah 8 kali menjuarai La Liga, cukup lumayan. Klub ini juga tercatat sebagai klub sepakbola tertua di Spanyol.

Yang menarik bagi Los Leones adalah komposisi skuadnya. Mereka hanya mengembangkan pemain muda asli Basque, serta hanya mau membeli pemain kelahiran Basque. Basque, yang wilayahnya berada di utara Spanyol, memang menyimpan potensi separatisme. Semangat primordial yang boleh jadi tercetus karena kekecewaan yang dialami akibat pemerintahan diktatorial Jenderal Francisco Franco. Di provinsi ini, hanya Athletic Bilbao yang memegang kebijakan ini. Sementara klub dari Basque lainnya seperti Real Sociedad dan Osasuna membolehkan pemain dari luar Basque untuk bermain di skuadnya. Basque memang tidak sendirian karena dari sebelah timur, provinsi Catalonia juga memiliki spirit serupa. Tapi klub-klub bola mereka tidak ada yg menerapkan policy itu.

Di era modern, pemikiran dan rasa proud semacam itu boleh jadi usang. Sekarang era-nya globalisasi, semangat ketertutupan semacam itu boleh jadi sebuah pemeliharaan akan stagnansi. Sebuah state of mind atas tangis dan kekalahan serta inabilitas mengikuti zaman. Bicara prestasi, Bilbao tidak pernah bisa menggusur dominasi duopoli Madrid dan Barcelona dalam 2 dekade belakang. Terakhir Bilbao menjuarai La Liga adalah saat saya baru umur setahun yaitu tahun 1984. Di tahun ini pula mereka merebut Copa del Rey dan Piala Super Spanyol. Selanjutnya, paling keren mereka hanya menjadi runner up La Liga 1998 dan terakhir runner up Copa del Rey dan Piala Super Spanyol 2009.

Bilbao bukannya tidak pernah menghasilkan pemain bagus. Justru beberapa pemain mereka adalah langganan timnas Spanyol. Kiper tangguh Andoni Zubizareta, The Hardman Andoni Goekotxea, si pembelot Sociedad Joseba Etxeberria, Bek kiri Asier Del Horno, Gelandang tengah jempolan Javi Martinez, Duo striker jangkung beda generasi Ismael Urzaiz dan Fernando Llorente adalah representasi faktual Euskadi Selekkao dalam tubuh La Furia Roja Spanyol dari jaman 80an hingga sekarang.

Sepakbola, bagaimanapun adalah olahraga yang unik. Sepakbola bisa mewakili perasaan tertekan atau terhimpit dari suatu kaum akan kesewenang-wenangan penguasa. Bagi Athletic, melalui olahraga sebelas lawan sebelas inilah mereka bisa sepenuh hati melawan sebelas pasukan penguasa dalam bentuk Real Madrid. Jika di dunia nyata mereka tidak mampu melawan, di lapangan hijaulah mereka punya kesempatan langka itu. Ditambah fakta bahwa sebelas wakil mereka di lapangan adalah orang Basque asli, patriotisme primordial semakin terpercik, yang bagi kalangan lain adalah patriotisme yang buta, tapi bagi Bilbao sebelas petarung itu adalah simbolisme patriotisme buta yang menyenangkan.

Bagi sebagian kalangan, sepakbola bukanlah sekedar olahraga. Sepakbola adalah simbol perlawanan.

Saturday, December 17, 2011

Politik sepakbola Arifin dan Bakrie.(taken from http://www.facebook.com/persebaya/posts/10150416955876666)

Kalau Anda mencintai sepakbola Indonesia, mestinya Anda tidak mendukung Liga Primer Indonesia dan Liga Super Indonesia.

Siapa yang tak cinta Timnas Sepakbola Indonesia? Anda, saya dan kita semua, saya kira mencintai Timnas. Antusiasme sebagian besar orang Indonesia dan luapan penonton di Senayan saat Timnas berlaga di final Piala AFF Suzuki 2010 adalah salah satu bukti, bahwa sebagian besar dari kita mencintai Timnas. Sebagian di antara kita, mungkin malah bermimpi, Timnas bisa berlaga di Piala Dunia.

Tapi menyertai semua semangat dan mimpi itu, ada isu yang tertendang ke gawang publik: gonjang-ganjing pelaksanaan Liga Primer Indonesia. PSSI menganggap pergelaran liga itu ilegal, karena katanya tidak direstui FIFA, AFC dan tentu saja oleh PSSI. Tendangan selanjutnya adalah teriakan-teriakan, agar Ketua Umum PSSI Nurdin Halid mundur dari jabatannya, dan kabar tentang Irfan Bachdim pemain Persema Malang yang konon akan berlaga di Liga Primer.

Lalu benarkah semua tendangan “bola” itu hanya akan berhenti pada persoalan Liga Primer, Liga Super, Nurdin dan PSSI, atau itukah arena lain dendam kesumat dari Keluarga Arifin dan Keluarga Bakrie?

Faktor Sudharmono dan Ginanjar
Arifin Panigoro dan Aburizal Bakrie alias Ical adalah dua pengusaha yang tumbuh besar sejak Soeharto membentuk Tim Keppres 10, 23 Januari 1980. Tim itu diketuai oleh mendiang Sudharmono dan Ginanjar Kartasasmita duduk sebagai salah satu anggota tim. Oleh Soeharto pembentukan tim itu dimaksudkan untuk menumbuhkan pengusaha pribumi dengan antara lain mengalokasikan sejumlah proyek nondepartemen bernilai di atas Rp 500 juta. Sekretariat Negara di bawah Sudharmono lantas ditunjuk sebagai penanggungjawab keberhasilan program tersebut.

Lewat tim itulah sejumlah pengusaha muda pribumi kemudian banyak mendapat prioritas. Ical, Arifin Jusuf Kalla, Iman Taufik, Fadel Muhammad, dan Agus Kartasasmita adalah beberapa pengusaha yang banyak “berhubungan” dengan Tim Keppres 10.

Hubungan mereka dengan Sudharmono dan Ginanjar, sejak itu lantas menjadi seperti hubungan bapak-anak. Sudharmono mengenal mereka sebagai pengusaha-pengusaha pribumi yang profesional, sementara para pengusaha itu menganggap Sudharmono sebagai tokoh yang bersih, kendati loyal kepada Soeharto dan berada di lingkaran kekuasaan. Kini, dua dari pengusaha yang disusui oleh Orde Baru itu yakni Ical dan Arifin terlibat perseteruan panjang.

Arifin adalah salah satu raja minyak yang cukup terkenal terutama sejak reformasi dan Ical adalah salah satu orang terkaya di Indonesia. Arifin pemilik kerajaan bisnis Grup Medco dan Ical pemilik kerajaan bisnis Grup Bakrie. November tahun lalu, Arifin gagal menjual salah satu anak bisnisnya ke Pertamina karena [terutama] Golkar yang dikendalikan Ical menjegal rencana penjualan itu melalui orang-orangnya di Senayan. Tapi itu hanya titik kecil dari perseteruan keduanya.

Sebagian orang tahu, Keluarga Arifin dan Keluarga Bakrie sudah saling meradang sejak kedua keluarga itu tidak bersepakat soal tanggungjawab dalam kasus luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. PT Medco E&P Brantas anak perusahaan dari PT MedcoEnergi, dulu memang pernah menjadi peserta [participating interest] eksplorasi dan pengeboran Lapindo.

Perusahaan itu mengantongi 32 persen saham di PT Energi Mega Persada Tbk. Nama yang disebut terakhir adalah salah satu sayap bisnis Grup Bakrie dan pemilik Lapindo Brantas Inc. perusahaan kontraktor kontrak kerjasama yang ditunjuk BP Migas melakukan pengeboran minyak dan gas bumi di tepi Sungai Brantas. Tapi entah kenapa, Medco kemudian menarik diri setelah bencana lumpur itu menyebur di Sidoarjo, 29 Mei 2006.

Akibat sikap Medco [Arifin] itu, Nirwan Bakrie [adik Ical] CEO Lapindo Brantas Inc. konon berang. Nirwan bahkan disebut-sebut sempat mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh kepada Hilmi Panigoro, adik Arifin. Sejak itu hubungan dua keluarga pengusaha itu, dikabarkan terus memburuk. Apalagi hingga sekarang, Grup Bakrie yang harus menanggung sendiri semua risiko akibat luapan lumpur Lapindo itu.

Arifin yang sudah “keluar” dari dunia politik [baca dari PDIP] kemudian seperti menyepi. Nyaris tidak ada suaranya, meski dia tentu saja masih ikut mengendalikan dari balik layar sejumlah manuver politik. Adapun Ical, terus moncer dan sebagian orang, kini menyebutnya sebagai “the real president.”

Liga Primer dan Liga Super
Hubungan dua keluarga pengusaha itu semakin renggang, ketika Sri Mulyani Indrawati sering bertabrakan dengan Ical ketika keduanya masih menjadi menteri di kabinet pemerintahan SBY-JK. Sri Mulyani, sejauh ini memang dikenal “lebih dekat” ke Arifin ketimbang misalnya ke Ical. Beberapa keputusan Sri Mulyani sebagai menteri keuangan, antara lain untuk kasus saham PT Bumi Resources Tbk. awal November 2008, lalu dituding oleh kelompok Ical, sebagai bagian dari manuver Arifin. Sebuah tudingan yang niscaya dianggap lelucon oleh Arifin dan juga Sri Mulyani.

Kini, hubungan dua keluarga pengusaha superkaya itu tampak seperti tak bisa direkatkan, setelah Arifin dkk. membiayai penyelenggaraan Liga Primer. Hak siar kompetisi ini, dikabarkan dikantongi oleh stasiun televisi Indosiar [Grup Salim], sementara hak siar Liga Super [tentu saja] dipegang stasiun ANTV [Grup Bakrie].

Tentu saja Liga Super bukan sekadar sebuah kompetisi sepakbola yang dimasudkan untuk “menantang” Liga Super yang digelar oleh PSSI. Tak pula ditujukan untuk misalnya, memberikan kebebasan kepada pemain sepakbola memilih arena bertanding yang mereka sukai, seperti wartawan yang bebas memilih induk organisasi profesi.

Liga Primer seharusnya juga dibaca sebagai mesiu politik yang lain dari Arifin yang diarahkan kepada Ical. Tidakkah Nirwan Bakrie adalah Wakil Ketua Umum PSSI?

Keluarga Bakrie katanya, penggila olahraga. Ical dikenal sebagai jago tenis, dan Nirwan walaupun tidak bisa bermain sepakbola, dikenal sebagai penggila olahraga paling popular di dunia itu. Keluarga Bakrie [tentu saja melalui kelompok bisnisnya] bahkan dilaporkan telah mengakuisisi 20 persen saham klub sepakbola Leicester Inggris. Keluarga itu, disebut-sebut telah memberikan hadiah Rp 3 miliar kepada pemain Timnas. Konon pula, sejumlah pemain sepakbola PSSI telah disekolahkan ke Uruguay dengan dukungan dana sepenunya dari Keluarga Bakrie.

Bagaimana dengan Nurdin? Ketua Umum PSSI itu suatu hari pernah berkata: "Keberhasilan Timnas [di ajang AFF] adalah berkat pengorbanan besar keluarga Bakrie, terutama Nirwan."

Benar, Nurdin memang orang dekat Keluarga Bakrie. Selain sebagai Ketua Umum PSSI, dia dikenal pula sebagai politisi Partai Golkar dan Ketua Dewan Koperasi Indonesia alias Dekopin. Tahun 2009, dia terpilih sebagai ketua Dekopin menyusul rekonsiliasi faksi-faksi di organisasi koperasi itu yang difasilitasi oleh Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan [Partai Demokrat].

Dia pula pernah menjadi narapidana dalam kasus korupsi. Nama Nurdin juga disebut-sebut oleh Hamka Yamdu [salah satu terpidana dalam kasus suap pemilihan Miranda Goeltom sebagai deputi gubernur senior BI] ikut menerima cek perjalanan sebanyak 10 lembar dengan nilai total Rp 500 juta. Hamka mengungkapkan keterlibatan Nurdin, ketika dia memberikan keterangan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 27 April lalu.

Tiga serangkai orang Bakrie
Nurdin, Nirwan dan Andi Darussalam Tabusalla adalah Tiga Serangkai yang tidak terpisahkan di PSSI: Nurdin ketua, Nirwan wakil, dan Andi Direktur Badan Liga Indonesia. Orang penting lainnya di PSSI adalah Berhard Limbong [Ketua Induk Koperasi Angkatan Darat atau Inkopad] dan Ibnu Munzir [Wakil Ketua Fraksi Golkar di DPR].

September tahun lalu, Andi pernah menantang Arifin Panigoro. Kata Andi, kalau Arifin membuktikan janji menyuntikkan dana Rp 540 miliar kepada 18 klub peserta Liga Super Indonesia, dia akan menyerahkan jabatannya sebagai direktur penyelenggaran liga di Indonesia kepada Arifin. “Tolong sampaikan kepada Pak Arifin, silakan kucurkan uang itu ke Escrow Account masing-masing klub, maka pengelolaan BLI akan kami serahkan kepada beliau. Tak perlu repot-repot membuat kompetisi tandingan,” begitulah kata Andi.

Sekarang, marilah tengok Liga Primer yang akan dimulai 8 Januari mendatang. Penyelanggara liga ini dikabarkan juga telah mendekati PT Djarum, produsen rokok yang dikendalikan oleh Keluarga Hartono [pemilik BCA]. Djarum sejauh ini dikenal sebagai penyokong utama Liga Super [PSSI] dan disebut-sebut telah menghabiskan sekitar US $ 5 juta per tahun untuk kompetesi Liga Super.

Sudah ada 19 klub yang akan berlaga di liga tersebut. Yaitu Aceh United, Bali De Vata, Bandung FC, Batavia Union, Bogor Raya, Cendrawasih Papua, Jakarta 1928, Kabau Padang, Ksatria XI Solo, PSM Makassar, Manado United, Medan Chiefs, Medan Bintang, Persebaya, Persema, Persibo [Bojonegoro], Real Mataram, Semarang United dan Tangerang Wolves.

Pemilik klub [politik] sepakbola
Persema, klub tempat Irfan Bachdim bermain, sebelumnya dimiliki oleh PT Bentoel Investama. Klub ini sempat diambilalih oleh Peter Sondakh dan kini dikendalikan oleh Walikota Malang, Peni Suparto [politisi PDI-P].

Lalu Persibo Bojonegoro diketuai oleh Suyoto, Bupati Bojonegoro, yang juga ketua Partai Amanat Nasional Jawa Timur. Semarang United dikendalikan oleh Kukrit Suryo Wicaksono, CEO Grup Suara Merdeka, kelompok media terbesar di Jawa Tengah. Lalu PSM Makassar dikuasai oleh Ilham Arief Sirajuddin, Ketua Partai Demokrat Sulawesi Selatan.

Adapun Arifin, tahun lalu telah mengakuisisi PT Pengelola Persebaya Indonesia, pemilik klub sepakbola Persebaya Surabaya, Jawa Timur tahun lalu. Konon, PT Pengelola Persebaya berniat menyediakan Rp75 miliar untuk Persebaya.

Jadi ke mana sebetulnya olahraga sepakbola Indonesia akan dibawa oleh [untuk sementara] Keluarga Bakrie dan Keluarga Arifin? Mengapa misalnya, mereka tidak memilih arena lain untuk saling menembakkan senjata kepentingan politik mereka ketimbang merusak semangat dan antusiasme sebagian besar dari orang Indonesia yang mencintai dan mendukung Timnas?

Benar, olahraga sepakbola di dunia adakalanya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik. Tapi yang dipertontonkan oleh Keluarga Arifin dan Keluarga Bakrie dalam olahraga sepakbola Indonesia belakangan ini, sungguh sudah tidak menarik karena yang terbaca kemudian adalah mereka hanya meneruskan perseteruan pribadi menjadi perseteruan publik.

Nafsu dan kepentingan politik mereka, apa boleh harus disebut menjijikkan. Padahal kalau mereka mau, mereka bisa membesarkan olahraga sepakbola bersama-sama. Tanpa kepentingan apapun hingga mimpi sebagian besar dari kita untuk menempatkan Timnas di Piala Dunia menjadi kenyataan.

Thursday, December 15, 2011

Anti Madrid yang kini Anti Barca

Melihat sepak terjang FC Barcelona saat ini, semua orang sependapat bahwa mereka adalah tim yang memainkan sepakbola terbaik. Permainan cantik, kerjasama tim, dan kolektivitas tinggi dipadukan dengan gelimang gelar bagi klub, pemain dan pelatihnya. Dan dominasi Los Cules ini sudah berlangsung sejak Pep Guardiola menukangi The Catalan sejak tahun 2008. Berbagai pujian sebagai tim terbaik, tim impian dan tim dari planet lain sudah banyak digenggam tim rival abadi Real Madrid ini. Pelatih legendaris Cesar Luiz Menotti bahkan merasa beruntung dia masih hidup saat menyaksikan permainan FC Barcelona.

Tapi mungkin gak banyak yg sadar kalo sepakbola tiki-taka yang dikembangkan Barca adalah manifesto dari gerakan anti-Madrid mereka. Sadar tidak memiliki kemampuan finansial sebaik sang rival, Petinggi Barca sepakat untuk mengembangkan akademi sendiri dengan pembentukan sistem sedemikian rupa sehingga membentuk pola permainan tim, formasi dasar 4-3-3, gaya bermain tiki-taka dan juga mencakup mentalitas. Semua itu terdapat dalam satu paket bernama La Masia de Can Planes, atau lebih dikenal dengan La Masia. Berlokasi di sebuah residen yang berdiri sejak 1702 -sekarang sudah diperbaharui- siapa yang menyangka dari akademi ini terbentuk seorang Lionel Messi, Cesc Fabregas, Xavi Hernandez, Andres Iniesta sampai Pedro Rodriguez, Thiago Alcantara dan Isaac Cuenca. Mereka terbentuk tidaklah asal jadi, melainkan melalui program coaching dan tempaan yang sistematis.

La Masia awalnya adalah proyek yang diusulkan oleh legenda mereka yang juga legenda sepakbola Belanda, Johan Cruyff pada tahun 1979. Cruyff saat itu ingin membuat akademi "Ajax model" dengan mengacu pada sisem pembinaan pemain muda Ajax yang memang terkenal itu. Proposal Cruyff di-approve oleh Presiden klub saat itu, Josep Luis Nunez. Akademi La Masia mengadopsi permainan Total Voetball Belanda. Kolektivitas yang dipadu tehnik tinggi menjadi tiki-taka ini sudah didoktrin staf pelatih Barca di La Masia sejak pemain berusia 7 tahun. La Masia memiliki program pembinaan yang mungkin sudah lazim dijalankan klub-klub Eropa, yaitu dimulai dari usia 7 tahun. Kelas Prebenjami usia 7-8 tahun, lalu naik ke 11 kelas lagi menjadi Barcelona B yang berkompetisi di Segunda Division sampai ke Barcelona senior. Tidak heran kalau filosofi tiki-taka sudah mendarah daging dalam permainan Barcelona. Bahkan tiki-taka Barca mampu diadopsi timnas Spanyol. La Furia Roja dengan 7 personel inti Barca di Starting eleven-nya mampu merebut gelar Piala Dunia 2010 setelah sebelumnya merebut Piala Eropa 2008.

La Masia bukan melulu soal sepakbola. Para calon penghuni skuad Blaugrana itu setiap pagi diharuskan bersekolah di pendidikan formal layaknya anak-anak pada umumnya, lalu selepas sekolah mereka diharuskan mengerjakan pekerjaan rumah, barulah latihan. "Disini tidak hanya soal sepakbola. Kecuali saat ada turnamen, mereka hanya berlatih 1,5 jam setiap harinya. Kami sangat concern dengan pendidikan, karena bisa membentuk intelegensia dan kepribadian pemain. Dengan cara itu pula, mereka yang gagal masuk ke dunia sepak bola profesional bisa memilih masuk universitas atau mencari pekerjaan lain” jelas Albert Capellas, salah satu staf pelatih La Masia.

Sudah kita sama-sama saksikan bagaimana Barcelona membentuk sebuah model yang awalnya bisa jadi adalah project anti-Madrid. Rival abadi mereka itu adalah tim raksasa dunia dengan kekayaan seolah tidak ada batas. "Madrid adalah rumah bagi pesepakbola-pesepakbola terbaik dunia" begitulah ungkapan Presiden Florentino Perez yang terkenal itu. La Masia adalah sebuah ide untuk menandingi kekayaan Real Madrid sekaligus menyingkirkan El Real dari singgasana La Liga. Disaat Madrid menjual kompleks latihannya senilai 250 juta euro demi mendatangkan Luis Figo, Zinedine Zidane, Ronaldo dan David Beckham dalam Project Los Galacticos, Barca tetap konsisten dengan La Masia.

La Masia sudah menghasilkan 3 nominator Ballon D'or dalam diri Lionel Messi, Andres Iniesta dan Xavi Hernandez. Serta sextuple winner pada tahun 2009 yang belum mampu disamai klub manapun di dunia. Sementara Madrid kini seolah kehilangan seluruh slogannya karena dirampas dengan kuat oleh tentara-tentara dari Catalonia. Kini Madrid yang mengalami situasi sebaliknya. Mereka terang-terangan mengusung strategi anti-Barca. Strategi transfer pemain yang masih sama, mendatangkan pelatih bereputasi super dalam diri Jose Mourinho, memainkan permainan keras dan pressing ketat sudah dijalankan, tapi Los Merengues masih belum berhasil hingga saat ini. Madrid memang masih memimpin klasemen La Liga, tapi dengan keunggulan hanya 3 angka yang bisa digeser El Barca. Mou juga kembali dibuat gigit jari di El Classico edisi terakhir di Santiago Bernabeu yang berkesudahan 3-1 untuk skuad Pep Guardiola. Kesimpulan yang terlalu prematur jika menganggap Madrid sudah gagal musim ini, tapi kekalahan itu jelas menggambarkan peta kekuatan diantara mereka. Konstelasi klasemen La Liga yang semula memisahkan Madrid dan Barca dengan 6 poin, kini hanya berjumlah 3 saja.

Madrid membutuhkan lebih dari sekedar uang untuk menghentikan Barca. The table has turned. Keadaan dimana semula Barca yang memainkan strategi anti-Madrid kini berubah menjadi Madrid yang kini mencoba cara dan formula paten anti-Barca. Jika dulu Jose bersama Inter tanpa malu hati memainkan pola "memarkir Airbus" didepan gawang, kini di Madrid situasinya berbeda. Madrid terlalu gengsi memainkan strategi demikian. Hal ini akan dimurkai Presiden Perez dan suporter Madrid, yang juga menginginkan kemenangan dengan permainan memikat. Sangat disayangkan juga talenta seperti Cristiano Ronaldo, Mesut Ozil, Ricardo Kaka dan Gonzalo Higuain dipaksakan menu bertahan. Mou masih punya banyak PR.

Tuesday, December 13, 2011

Sponsorship terselubung The Eastlands?

Bahwa sepakbola eropa sudah menjadi industri bukanlah barang baru. Segala yang berurusan dengan sepakbola disana bisa kecipratan untung. Dan tentunya disana sepakbola mampu menggerakkan perekonomian secara masif. Dari pemain, pelatih, dokter tim, fisioterapis, pemelihara lapangan, penjual merchandise, televisi, produk-produk olahraga, dan lain-lain semua merasakan berkah dari perputaran super cepat dunia kulit bundar ini.



Saya mau bicara soal Manchester City alias The Eastlands sebagai contoh. Klub sekota Manchester United ini sudah mulai menggeliat untuk menerobos kemapanan big four English Premier League (EPL) yang selama ini diisi Manchester United, Chelsea, Arsenal dan Liverpool sejak diambil alih oleh Thaksin Shinawatra, eks perdana menteri Thailand. Saat itu Thaksin mulai menginjeksi puluhan juta euro untuk memperbaiki kinerja City, terutama di bursa transfer termasuk mendatangkan pelatih eksentrik Sven Goran Eriksson sebagai bukti konkrit. Sayang, kiprah Thaksin hanya sebentar karena dia tersandung kasus korupsi di negaranya, yang membuatnya harus angkat kaki dari City of Manchester Stadium.



Namun pada tahun 2008 lalu, angin segar kembali melanda si biru langit dari kota Manchester setelah proses akuisisi oleh Abu Dhabi United Group. Dengan deal yang dilaporkan mencapai 200 juta pound, City menjadi "orang kaya baru" di ranah sepakbola eropa. Bisa ditebak, City langsung menggebrak di bursa transfer dengan mendatangkan bintang Brasil, Robinho dari Real Madrid sebesar 32,5 juta pound, yang saat itu memecahkan rekor transfer termahal di Inggris. Pada musim tersebut, City menduduki peringkat 10 dan mencapai babak perempat final Europa League.

Selanjutnya, City makin menggila dan seolah menguasai bursa transfer. Total senilai kira-kira lebih dari 100 juta pound dikuras dari kas klub dalam waktu 2 tahun untuk mendatangkan pelatih Roberto Mancini dan pemain-pemain mahal semisal Gareth Barry, James Milner, Wayne Bridge, Aleksandr Kolarov, Joleon Lescott, Nigel De Jong, Jeremaine Boateng, Patrick Vieira, David Silva, Emmanuel Adebayor, Carlos Tevez, kakak beradik Kolo dan Yaya Toure, sampai si bengal Mario Balotelli dan jagoan Bosnia, Edin Dzeko. Hasilnya, pemain-pemain ini mampu membawa City lolos ke Liga Champions dengan menduduki peringkat 4 EPL dan juara piala FA musim 2010/2011 yang baru berakhir. Roberto Mancini berkomentar bahwa gelar piala FA ini hanyalah awal dari kejayaan dinasti City.



Sensasi City tidak berhenti sampai disitu. Dengan proyek super-ambisius pimpinan Sheikh Mansour, City masih mengincar banyak pemain bertalenta yang tentunya berharga mahal dan bergaji tinggi setiap tahunnya. Target mereka menguasai EPL pun diramal hanya tinggal menunggu waktu saja. Tapi masih ada lagi sensasi yang dibuat City diluar dunia transfer pemain, yaitu masalah sponsorship.



City dimiliki oleh konsorsium Abu Dhabi United Group, dimana salah satu perusahaannya adalah Etihad Airways, yang namanya terpampang di seragam City. Baru-baru ini Etihad selaku sponsor mengucurkan dana super fantastis sebesar 400 juta pound untuk durasi kontrak 10 tahun. Jumlah inilah yang dipermasalahkan banyak pihak seiring dengan kebijakan UEFA selaku otoritas sepakbola tertinggi eropa untuk menggulirkan Financial Fair Play mulai tahun 2013.



Presiden UEFA, Michel Platini mulai gerah dengan perkembangan sepakbola terkini, dimana klub-klub sepakbola dinilainya sudah kehilangan akalnya. Klub-klub kaya lebih mementingkan prestasi instan dengan cara mendatangkan pemain asing berharga mahal daripada mempercayakan pembinaan jangka panjang dari akademi klub sendiri. Hal ini akan menghambat pembinaan sepakbola usia muda, dan tidak sejalan dengan spirit keprihatinan global pasca krisis ekonomi, juga terjadinya persaingan yang tidak sehat dalam kompetisi sepakbola, dan klub akan kehilangan jati dirinya karena makin minimnya jumlah pemain lokal dalam klub.

Selain mengkampanyekan pembatasan jumlah pemain asing dan pengaturan home grown player, Platini juga mencanangkan Financial Fair Play yang mengharuskan posisi keuangan klub dalam kondisi sehat, yang artinya tidak merugi. Pengeluaran klub tidak boleh lebih besar daripada pendapatan asli klub. Pendapatan asli klub ini terdiri dari hak siar televisi, penjualan tiket stadion, penjualan merchandise, dan kegiatan sponsorship. Dengan adanya Financial Fair Play, posisi keuangan fiskal klub diharapkan berada dalam posisi laba, yang tentunya akan menjadi potensi penerimaan pajak yang besar bagi negara. Dalam tahap monitoring 2011/2012 dan 2012/2013, UEFA memberi syarat kerugian maksimum adalah sebesar 45 juta euro. Konsekuensinya, klub yang melebihi angka kerugian tersebut akan terkena sanksi larangan mengikuti kompetisi dibawah payung UEFA, termasuk larangan aktif di bursa transfer pemain.



Namun dengan nilai sponsor yang mencapai 40 juta pound per tahun tadi, City praktis dapat bernapas lega karena suntikan tersebut diyakini meloloskan mereka dari sanksi UEFA tersebut. Posisi keuangan City akan senantiasa berada pada titik aman, karena tiap tahunnya disokong dana besar, dan dengan asumsi pendapatan klub juga akan makin meningkat seiring keikutsertaan mereka di Liga Champions dan penetrasi pasar yang semakin . Artinya, City tetap akan leluasa membelanjakan puluhan juta uangnya di pasar pemain setiap tahun seperti yang mereka lakukan selama ini.



Banyak pihak yang tidak tinggal diam menyangkut hal ini. Manajer Arsenal, Arsene Wenger berkomentar bahwa City telah melakukan transaksi sponsorship yang jauh dari kewajaran, dan menuntut Platini bersama UEFA melakukan investigasi mengenai tingkat kewajaran transaksi ini. Dia mencontohkan Arsenal yang "cuma" mendapatkan kontrak sebesar 100 juta pound dari Emirates Airways dengan durasi kontrak 15 tahun, yang berarti hanya sekitar 1/7 saja dari yang diterima City dari Etihad. Kredibilitas Financial Fair Play dipertanyakan. Hal senada dikeluhkan oleh Ian Ayre, managing direktur Liverpool. Ayre juga terheran dengan digantinya nama stadion City of Manchester Stadium dengan Etihad Stadium sebagai konsekuensi kontrak. Hal ini dikatakannya merupakan pertama kali terjadi di dunia sepakbola.



Permasalahannya adalah, apakah ada harga pasar wajar untuk transaksi sponsorship klub? Apakah pencanangan Financial Fair Play adalah solusi terbaik guna mengembalikan sepakbola pada hakikatnya sebagai permainan yang fair, baik didalam maupun luar lapangan? Pekerjaan rumah yang besar telah menanti Platini, karena klub-klub semacam ini bukan hanya City, tapi sebelumnya telah muncul Chelsea. Dan kini di ranah Iberia muncul Malaga, klub dari wilayah Andalusia, Spanyol, yang baru-baru ini dibeli oleh konsorsium dari Qatar dan siap menggoyang duopoli La Liga dari tangan Barcelona dan Real Madrid dengan kekayaan barunya. Belum lagi Paris Saint Germain yang juga baru diakuisisi konsorsium Qatar.


Sepakbola sekarang memang bukan sekedar permainan, tapi bisnis. Bisnis yang menguntungkan banyak pihak. Tapi apakah sepakbola harus menutup mata pada permasalahan lain di dunia yang lebih mendesak, seperti masalah kelaparan, keterbatasan pangan, kesehatan dan lainnya? Perputaran uang yang terlalu kencang di dunia sepakbola dan terkonsentrasinya kekayaan hanya pada golongan tertentu tentunya sangat menyakiti kaum-kaum marjinal, yang tidak tau hari esok mereka akan seperti apa.

Neverending Clash of Titans

Bicara PSSI memang gak ada habisnya. Sebagai induk organisasi dari olahraga yang paling digemari di tanah air yaitu sepakbola, PSSI sebenarnya dibebani peran integral untuk memperbaiki prestasi sepakbola kita.

Salah satu sarana, dan boleh jadi mutlak adalah penyelenggaraan kompetisi. Kompetisi ibarat pabrik besar pesepakbola, dimana timnas sebagai pemakainya. Analogi ini ibarat perkebunan dan toko buah. Sebagus apapun toko, percuma kalo buah yang dijualnya berkualitas jelek. Kompetisi yang baik akan memudahkan timnas. Timnas tinggal memilih 20-23 pemain-pemain terbaik hasil kompetisi, yang nantinya dikerucutkan ke 11 terbaik sebagai starting eleven.

Kompetisi sepakbola yang ideal sebenernya punya kriteria simple. Yaitu diakui secara internasional dalam bentuk FIFA dan badan-badan yang bernaung dibawahnya, dan tentunya dalam hal ini diakui PSSI sebagai anggota FIFA. Tapi permasalahannya, apa kompetisi legal udah pasti sehat? Nanti dulu.

Kompetisi yang sehat, selain legal juga mengutamakan kepentingan yang lebih besar, dalam hal ini klub dan pemain didalamnya. Karena pemain adalah pelaku langsung dari permainan sepakbola, dan klub adalah penghasil sekaligus penyambung hidup pemain-pemain itu.

Kalo boleh gue ceritain, mungkin bisa panjang lebar dan ngebosenin jadinya. Tapi secara garis besar kronologisnya berawal dari pengurus lama. Sekelompok orang yang saat itu gerah dengan buruknya kualitas kompetisi ISL (Indonesia Super League) berinisiatif membuat sebuah kompetisi tandingan bernama LPI (Liga Primer Indonesia). Dengan jargon heroik berupa pengelolaan profesional, peningkatan standar mutu dan pembiayaan mandiri tentu aja sangat gampang menarik simpati berbagai kalangan.

Rezim lama lengser, datanglah rezim baru. Rezim baru yang diawal kepengurusannya aja udah kontroversial dengan meminggirkan Alfred Riedl ini lalu membuat kebijakan lain yang bahkan lebih kontroversial. Ide mereka memang baik, yaitu melebur kompetisi ISL dan LPI kedalam satu wadah yaitu Liga Prima Indonesia (juga LPI), termasuk melebur klub-klub didalamnya. Yang namanya peleburan atau penggabungan di perspektif bisnispun berarti harus ada kepengurusan baru, dan cuma satu pengurus yang bertahan, karena gak mungkin dalam satu kapal ada 2 nahkoda.

Tapi sebagaimana kita semua tau, itulah yang terjadi sekarang. PSSI gagal menjadi mediator netral dalam penyelesaian masalah kepemilikan klub-klub tadi, karena sebagai penetral, mereka justru sama sekali gak netral. Secara sepihak, mereka memutuskan siapa pemilik klub, dan mengacak-acak kepengurusan yang sudah ada.

Gak heran kalo klub-klub yang merasa dirugikan jadi mundur dari kompetisi LPI. Langkah ini diikuti banyak klub yang akhirnya menjadikan embrio yang menghidupkan kembali nadi ISL. ISL pun menjalankan kompetisinya. Ironisnya bagi ISL, the table has turned. Mereka kini menjadi kompetisi breakaway, sementara LPI menjadi kompetisi legal. Banyak mudaratnya dari keadaan ini, bahkan lebih besar pengaruhnya ke timnas daripada pada saat LPI menjadi breakaway league.

Pemain-pemain yang selama ini menjadi punggawa timnas, kebanyakan memperkuat tim ISL. Sementara PSSI tidak mengakui eksistensi klub ISL dari sisi legalitas. Habislah klub ISL tersebut tidak bisa mengikuti kompetisi yang berada dibawah PSSI, berimbas pula kepada didiskualifikasinya Persipura dari Liga Champion Asia, yang notabene berada dibawah naungan AFC, Federesi Sepakbola Asia.

Soal Persipura yang menjadi korban itu adalah konsekuensi dari tidak terselesaikannya dualisme kompetisi sepakbola kasta tertinggi di Indonesia. Persipura bahkan mempertimbangkan untuk mengikuti Liga Australia saja karena keputusan PSSI untuk tidak mendaftarkan mereka di Liga Champions Asia telah melukai perjuangan mereka yang merebut gelar juara ISL musim lalu.

Gak berhenti di pemain dan Persipura aja korban situasi ini. Coach RD akhirnya mundur dari timnas U-23. Komentarnya sesaat setelah pertemuannya dengan pengurus PSSI sangatlah bijak dan ksatria "Saya meresa gagal tidak memenuhi target emas" begitulah katanya kepada wartawan. Tapi kita semua taulah apa alasan sebenarnya dari pengunduran diri Coach RD. Dia merasa tidak akan maksimal melakukan pekerjaannya jika tidak bisa memilih pemain terbaik untuk timnas. RD berharap masalah dualisme kompetisi ini bisa diselesaikan bagaimanapun caranya.

Kesalahan yang sama kembali diulang. Setelah sebelumnya melengserkan Alfred Riedl, kini RD dibiarkan pergi. Orang-orang kompeten dan eksepsional itu tidak ubahnya korban dari pertikaian yang terjadi diantara kalangan elit PSSI. Ditambah lagi, kini PSSI tidak mengakui program SAD (Sociedad Anonima Deportivo) yang berkompetisi di Quarta Division Uruguay karena SAD adalah programnya Nirwan Bakrie, yang bukan lagi bagian dari elit PSSI sekarang.

Kita bisa lihat bahwa kisruh ini terjadi karena pertikaian antar elit. Clash of Titans. Balas dendam rezim baru setelah mereka kini punya kuasa. Keliatan kalo disini sepakbola identik dengan politik, dan tentunya siapa yang berpihak pada penguasa dialah yang berjaya. Penguasa tidak melihat lagi MANFAAT dari suatu program, tapi melihat SIAPA yang memiliki program itu. Kalo bener ungkapan "Sepakbola adalah identitas suatu bangsa" maka bener keliatan karakter bangsa kita ini seperti apa.

Semoga Neverending Clash of Titans ini segera berakhir! Solusi apapun yang terbaik sangat dinantikan bangsa ini.

Monday, December 12, 2011

Brasil dan Julukan Pemain Bola (taken and personally edited from liputan6.com - artikel 14 Nov 2010)

Entah itu di pantai, di sekolah, di jalanan ataupun di dalam stadion, olahraga sepakbola di Brasil tidak akan lengkap tanpa adanya nama julukan. Para pemain berlomba mengganti nama formal mereka menjadi nama julukan.

Nama julukan seperti Formica (si Semut), o Carioca (asal Rio) atau o Mexerica (si Jeruk) adalah nama yang umum beredar di kalangan pemain. Bagi pemain bertubuh kecil, ”inho” wajib ditambahkan di belakang nama julukan mereka seperti misalnya Robinho (si Robson kecil) atau Ronaldinho, meskipun tubuhnya kini tak sekecil saat karir profesionalnya mulai merekah.

Secara kontras, para pemain yang lebih besar mendapatkan tambahan “ao” di belakang nama julukan mereka. Contohnya, mantan pelatih Brasil Felipao (Big Phil) Scolari, yang notabene merupakan bek kokoh bertubuh besar saat ia masih merumput.

Mungkin nama-nama julukan semacam ini hanya sebuah cara sederhana membedakan para pemain di negara gila sepakbola seperti Brasil. Atau mungkin ini merupakan obsesi rakyat Brasil untuk menambahkan “aksesoris” pada permainan sepakbola indah Samba. Yang pasti tidak ada satu negara pun di dunia ini yang menjadikan nama julukan sebagai bagian integral kebudayaan sepakbolanya.

Di negara pengoleksi 5 gelar juara Piala Dunia ini, para fans kemungkinan besar bahkan tidak mengetahui nama-nama asli idola mereka. Dan meski legenda-legenda sepakbola seperti Franz Beckenbauer (Der Kaiser/Jerman) dan Diego Maradona (El Pibe de Oro/Argentina) kadang-kadang dipuja dengan nama julukannya, namun tidak seperti di Brasil, nama-nama tersebut tidak akan menggantikan nama asli mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Dan sesungguhnya, sebagian besar pemain tersohor di Brasil hanya dikenal dengan nama kecil mereka. Valdir Pereira yang membawa Brasil dua kali juara PD dan Edvaldo Izidio Neto, top skorer PD Swedia 1958, misalnya. Seumur hidupnya fans mengenal Pereira dengan nama kecilnya Didi dan Neto dengan nama Vava. Contoh terbaru adalah Ricardo Izecson dos Santos Leite yang kita kenal dengan sebutan Kaka.

Berbeda dengan mereka, beberapa legenda Brasil lainnya memperoleh nama julukan melalui berbagai cara unik. Termasuk di antaranya dua pemain terhebat sepanjang sejarah, Pele dan Garrincha. Pele kecil dikenal dengan nama Edson Arantes do Nascimento. Saat masih bocah Edson bercita-cita untuk menjadi seorang kiper seperti idolanya Bile, penjaga gawang di klub Vasco de Sao Lourenco di utara Minas Gerais.

Ketika sedang berlatih bersama sobat-sobatnya, Edson kecil seringkali bermain sebagai kiper. Setiap kali berhasil mengamankan gawangnya dari serbuan musuh, Edson akan berteriak “Bile” seolah-olah ia sedang beraksi layaknya sang idola. “Hore, Pele,” teriak rekan-rekannya yang salah mendengar nama yang diteriakan oleh Edson kecil. Anehnya bukan sebagai kiper Pele dikenal, namun sebagai penyerang tersubur sepanjang sejarah.

Sementara itu, Garrincha yang memiliki nama asli Manoel dos Santos memiliki sejarah nama julukan berbeda. Julukannya datang dari seekor burung coklat yang umum ditemui di kota kelahirannya Pau Grande. Nama Garrincha merupakan ejekan yang datang dari sang kakak saat melihat kedua kaki adiknya yang kecil, kurus dan membungkuk seperti burung Garrincha. Pada saatnya nanti, nama Garincha merupakan sinonim dari pemain dengan permainan sayap menggemparkan dan salah satu penyerang kanan terpopuler sepanjang masa.

Sejumlah julukan pemain lainnya juga memiliki sejarah yang unik. Kapten Brasil pada PD 1994 Carlos Caetano Bledorn Verri dikenal dengan nama Dunga (Dopey) merujuk kepada karakter kurcaci dari film Disney, ‘Snow White and the Seven Dwarfs’.

Lain halnya dengan Marcos Andre Batista Santos yang membawa Brasil juara PD 2002 di Korea Selatan dan Jepang. Ia dikenal dengan nama Vampeta. Nama ini merupakan ejekan yang datang dari teman-teman sekolahnya. Pada awalnya ia dijuluki o Capeta (sang Iblis) merujuk pada roman mukanya saat masih bocah. Namun saat ia kedua gigi susunya di bagian tengah patah, sontak teman-temanya menjulukinya o Vampiro (Drakula). Nama Vampeta merupakan kombinasi keduanya.

Selain karakteristik fisik, nama julukan pemain Brasil juga berasal dari kota kelahiran. Junior Baiano (kota Bahia) or Marcelinho Carioca (dari Rio, dimana penduduknya dikenal dengan sebutan Cariocas). Nama-nama binatang juga populer dijadikan sindiran atau julukan bagi pemain, seperti Pavao yang berarti merak, Edson Cegonha (bangau), Claudio Pitbull (jenis anjing), Ratinho (tikus kecil), dan Aranha (laba-laba).

Begitu juga nama makanan atau benda-benda seperti Cocada (permen kelapa), Eduardo Arroz (beras), Ademir Sopa (sup), Triguinho (gandum), Viola (biola), Balao (balon), Tesourinha (harta kecil), Alfinete (pin) dan Valdir Papel (kertas). Rakyat Brasil nampaknya tidak pernah kehabisan ide untuk menjuluki idola-idola mereka.

Friday, December 9, 2011

Football is life: Lose


In this posting, I would like to draw attention on one of life aspect in football. Lose. Yeah lose. If you reflect for a while and remember, how many games we defeated and how many games we won, I can say that we lose more than win. Maybe you don't? Well at least that's based on my experience.

How many "serious" games I have played, maybe above 25 games, and maybe I only won 10 and played well only 7 of them. The rest, sometimes I play in a successful way, sometimes sucks. But, the difference between "success" and "sucks" is sometimes very slight. A second ago we won, this time we lose. The world turns so fast just in a matter of second. And you must be agree that in every competition, there's only 1 champion. The rest are loser. Runner up? No. People only remember the number one.

So, if we used to become a loser, should we stop fighting? Should we cry and mock? No. Lose is just a result. And between the beginning and ending, there are always process. A process of growing up, a process of being a better player. We can always get back at anytime. We can fight until we get bleed, until we get sweat and no matter the result, we should get on our feet! If we don't fight, if we stop playing maybe we won't get hurted or wounded. But we will be a wuss. We will never experience a rush blood to our head!

How many missed shot Lionel Messi tried until he got succeed? it was uncountable. How many shot attempted by Cristiano Ronaldo if compared by the goals? it sometimes 10:2. How many failure has Zlatan Ibrahimovic felt when he trained his tricks? Maybe too many to be mentioned. But are they quitter? No, they are winners. And one of important thing to bear with lose is patience. Be cool and keep trying. Life is not always how to win the battle, but how we get up from falling. Because a champion is someone who is always standing, even if standing is not easy.