Pages

Sunday, August 7, 2011

Mr. X Cepatlah datang!

Menyaksikan pertandingan yang dilakoni Milan selama pramusim ini, termasuk gelaran Supercoppa Italiana di Birds Nest Stadium Beijing kemarin menyisakan sedikit kekhawatiran dari tifosi, termasuk saya.

Milan memang gak pernah kalah di pre-season ini. Di Audi Cup mereka imbang 1-1 dengan Bayern Muenchen, dan 2-2 lawan Internacional, kemudian kalah adu penalti. Tapi yang lebih patut dicermati adalah permainannya. Lawan Bayern, kelihatan bek sayap Milan Abate dan Taiwo belum siap menghadapi winger kelas dunia macam Arjen Robben dan Thomas Mueller. Memang Milan gak kebobolan banyak, tapi serangan sayap Die Rotten juga membuat para gelandang Milan kehilangan konsentrasi dan membuat mereka lupa pada tugasnya menata permainan karena harus membantu pertahanan.

Lawan Internacional lebih baik. Milan mampu mengkreasi banyak peluang yang sayangnya hanya 2 gol yang tercipta, dan sayangnya pula harus kebobolan 2 'cheap goal'. Dan dari duel ini terlihat kepantasan Cassano sebagai pemain Milan. Sentuhan magisnya sangat kita butuhkan disaat kritis.

Semalam lawan Inter, saya memang gak nonton, tapi dari yang saya baca dan dengar dari yg menonton, permainan Milan di babak pertama kurang memuaskan. Milan banyak ditekan Inter dan para gelandang tidak menemukan permainan terbaiknya. Banyak yg mengkritik permainan Gattuso & Seedorf di babak pertama. Tapi di babak kedua untungnya tangan dingin Max Allegri berhasil mengubah jalannya pertandingan. Permainan Seedorf dan Boateng jauh membaik yg ujung2nya 2 gol tercipta dan memutarbalikkan keadaan.

Tapi diatas itu semua, Milan sebagai tim yg mengincar semua gelar di 2011/2012 butuh lini tengah yg lebih siap dan mampu menentukan jalannya pertandingan sejak awal. Seedorf memang bisa diandalkan dalam beberapa situasi, tapi kecepatannya sudah gak bisa lagi diandalkan. Gattuso juga sama. Sementara Boateng lebih bertipe box to box midfielder yg sangat powerful tapi bukanlah seorang penentu atau playmaker.

Untuk itu, kehadiran 1 orang gelandang kiri yang dicari2 selama ini memang sangat dibutuhkan. Dia akan mampu mengubah pola kerja lini tengah Milan secara keseluruhan, dan menginisiasi serangan dengan warna baru yg belum terbaca oleh rival2 Milan. Siapa orangnya? Montolivo dan Aquilani sekarang paling sering disebut2, sementara Cesc Fabregas relatif hanya impian seperti layaknya Marek Hamsik yang malah gak pernah disebut2 lagi.

Montolivo bukan seorang gelandang kiri, dia lebih ditengah atau kanan. Karakter playmaker ada padanya, serta punya tendangan jarak jauh bagus. Montolivo adalah pemimpin lini tengah Gli Azzuri yang tengah membangun kekuatan pasca kehancuran masif di Piala Dunia lalu. Menyenangkan punya pemain seperti ini di sebuah tim. Monty mungkin bisa mengisi pos Gattuso atau bahkan Van Bommel, sementara Seedorf dan Urby tetap bergantian di pos kiri.

Aquilani dilain pihak berkarakter playmaker dan berteknik tinggi, bisa bermain di kiri, dan disia-siakan Liverpool yang lebih memilih Charlie Adam. King Kenny Dalglish mungkin belum pernah menonton video Aquilani pernah lihat videonya melakukan umpan rabona pada saat Roma menghadapi Milan, yang berujung gol Totti ke gawang Nelson Dida.

Kalau boleh pilih, saya pilih keduanya berbaju Milan. Keduanya adalah aset besar dalam persepakbolaan Italia. Kesimpulannya, Aquilani atau Montolivo bisa jadi solusi. Dari ranah Bavaria, ada nama Bastian Schweinsteiger. Schweini sangat menonjol permainannya saat menjadi playmaker di Piala Dunia 2010, dan dia jelas bisa ditempatkan sebagai gelandang kiri. Tapi, keengganan Bayern melepasnya adalah sebuah kesulitan buat Milan, yang budgetnya terbatas.

Ada pula opsi mendatangkan ex-golden boy Ricardo Kaka. Tapi Milan akan berjudi jika mendatangkannya. Injury prone dan inkonsistensi permainannya sejak meninggalkan Milanello adalah sebuah nilai minus, belum lagi fakta bahwa ex bintang kebanyakan gagal jika melakukan come back ke san siro. Tapi bisa ditebak, Berlusconi dan Galliani paling menyukai Kaka dibanding kesemua kandidat Mr. X, ditambah rumor yang mengatakan harga Kaka bisa didiskon hingga 'hanya' 11 juta euro saja.

Sementara di lini penggedor, para petinggi kelihatan gak ada puasnya. Sudah punya Ibra, Pato, Robinho, Pippo, Cassano dan Paloschi tapi masih aja mengharapkan Balotelli. Ada keyakinan bahwa Milan adalah tempat pemulihan pemain bandel dengan sikap kekeluargaan yg ditawarkan. Fakta bahwa Balotelli seorang Milanista juga diyakini akan meredam super-ego sang wonderkid jika jadi bergabung. Tapi saya sendiri gak rela jika harus mengorbankan 1 dari 6 striker kita bahkan untuk seorang Balotelli. 2-3 tahun lagi mungkin Balotelli baru bisa berguna untuk Milan. Selama ini, Super-Mario lebih banyak membuat sensasi daripada prestasi. Mendatangkannya lebih baik dengan status pinjaman, itupun kalau ada salah satu attacante Milan ada yg hengkang.

Segeralah datang, Mr. X!!

Forza Milan!!

Saturday, August 6, 2011

Sensasi Paris Saint Germain



Paris Saint Germain. Biasa disebut Paris SG, atau PSG. Klub di ibukota Perancis ini sebenarnya bisa dibilang pemain baru dalam dunia sepakbola. Klub ini baru berdiri di tahun 1970 hasil merger dari Paris FC dan Stade Saint Germain. Paris FC sendiri masih ada, tapi sayangnya mereka masih berkutat di kompetisi amatir. Padahal Mamadou Sakho, pemain paling berbakat PSG berasal dari Paris FC, begitu pula Pelatih Prancis di Euro 2000, Roger Lemerre yang mengawali karir manajerialnya disini.

Kembali ke PSG, layaknya darah muda, usia tidak menghalangi mereka untuk membuat sensasi, dan tentu saja prestasi. Sensasi mereka tentu saja rivalitas besar dengan Olympique Marseille. Rivalitas ini adalah yang terbesar di Prancis, salah satu yang klasik di sepakbola eropa. Setiap mereka bertanding, pengamanan ditingkatkan sampai 10 kali lipat.

PSG adalah klub besar, yang memiliki pemain-pemain besar di setiap musimnya. Tercatat salah satu duet terbaik eropa 90an, David Ginola dan George Weah pernah bermain disana. Weah adalah pemain terbaik dunia tahun 1995, sementara Ginola adalah pria tertampan di Paris menurut wanita-wanita disana. Mereka juga pernah diperkuat oleh Leonardo, paul Le Guen, Bernard Lama, Vincent Guerin, Patrice Loko, Marco Simone, Youri Djorkaeff, sampai Ronaldinho.

Musim lalu dengan pelatih Antoine Komboure, PSG mencicipi papan atas Ligue 1 dengan mengandalkan pemain-pemain veteran seperti Claude Makelele, Ludovic Giuly, dan Gregory Coupet dengan pemain-pemain muda seperti Nene, Mamadou Sakho, Clement Chantome dan Guilaume Hoarau.

Tanggal 31 Mei 2011 ini mungkin tanggal paling bersejarah bagi klub kebanggaan kota mode dunia ini. PSG dibeli oleh Qatar Investment Authority. Mereka membeli 70% saham mayoritas, menjadikan pemilik sebelumbya, Colony Capital menjadi hanya memiliki 29% saja. Seperti halnya para sheik dari timur tengah, PSG kini merasakan nasib yang sama seperti Manchester City dan Malaga, jadi orang kaya baru!

Benar saja, PSG langsung mengumumkan penunjukan Leonardo sebagai Direktur Teknik. Gebrakan langsung terasa di bursa transfer. Dalam waktu 2 bulan, mereka mendatangkan Blaise Matuidi dan Milan Bisevac dari Valenciennes, Kevin Gameiro dari Lorient, Jeremy Menez dari AS Roma, Salvatore Sirigu dari Palermo, dan yang paling fenomenal yaitu Javier Pastore, rekan Sirigu dari Palermo. Pengejaran mereka belum berhenti sampai disitu, dikabarkan mereka mengincar Dimitar Berbatov (Manchester United) dan Joe Cole, yang disia-siakan Liverpool.


Iming-iming gaji besar dan pesona kota Paris adalah pemikat utama para pemain itu untuk bergabung. PSG adalah calon penguasa tunggal liga Prancis, yang beberapa waktu lalu dikuasai oleh Olympique Lyon dengan gelar liga 7 musim beruntun.

Saya adalah pendukung PSG sejak 90an, selain AC Milan dan Barcelona tentunya. Musim depan, klub-klub yang saya dukung ini akan berprestasi maksimal! Mudah-mudahan.

Monday, August 1, 2011

Playmaker Indonesia?

Playmaker. Trequartista. Fantasista. Atau apapun sebutannya dalam sepakbola adalah seorang pemain yang memiliki karakteristik spesial. Spesial karena lewat pemain di posisi inilah sering kali permainan sebuah tim bergantung. Pemain ini menghubungkan lini depan dan belakang, biasanya bernomor punggung 10, memiliki visi yang jelas dalam permainan dan utamanya adalah mempraktekkan strategi pelatih kedalam lapangan. Pemain seperti Johan Cruyff, Zinedine Zidane maupun Maradona seringkali sendirian menentukan hasil pertandingan timnya. Pemain ini adalah roh dari tim, pemain ini adalah strategi dari tim itu sendiri. Itulah playmaker pada tingkat tertingginya.

Ada juga pemain yang menentukan alur permainan tim. Bermain cepat, lambat, direct maupun dari kaki ke kaki layaknya seorang dirigen dalam simfoni musik. Andrea Pirlo, Xavi Hernandez, Xabi Alonso adalah contoh dari sedikit pemain tersebut. Bahkan ada sebutan lazy wizard, sebutan untuk seorang pengatur serangan yang malas berlari tapi punya skill luar biasa seperti Juan Roman Riquelme ataupun almarhum Socrates.

Di Indonesia, pemain dengan posisi dan peran seperti maestro diatas sebenarnya cukup banyak dihasilkan pada tahun 80-90an, hanya dengan tingkatan prestasi dan kebintangan yang berbeda dari playmaker-playmaker dunia tersebut. Terhitung Yoesoef Bachtiar, Fachry Husaini, Ansyari Lubis, Francis Wewengkang hingga Eduard Ivakdalam. Mereka adalah pengatur permainan papan atas Indonesia pada masa jayanya.

Tetapi dalam 10 tahun terakhir ini, pemain Indonesia berkarakter demikian sangat langka. Tercatat hanya Firman Utina, Ahmad Bustomi dan kini Egi Melgiansyah saja yang memiliki kemampuan mengatur permainan. Mantan pelatih Alfred Riedl bukannya tidak menyadari permasalahan ini. Dia mengeluhkan terbatasnya pemain lokal berposisi playmaker di kompetisi Liga Indonesia.

Anehnya, ini adalah fenomena yang mulai terjadi sejak kepemimpinan rezim sebelum sekarang. Posisi pemain-pemain ini di klub Liga Indonesia sudah nyaman diduduki pemain-pemain asing. Zah Rahan, Danilo Fernando, Ronald Fagundez, Milijan Radovic sampai Robertino Pugliara semuanya bukan pemain lokal. Gelandang-gelandang lokal kebanyakan berposisi sebagai gelandang bertahan yang berkarakter keras, bukan karakter flamboyan, karena memang posisi pengatur permainan seolah sudah dipatenkan untuk pemain asing. Ada juga pendapat kerasnya permainan di Indonesia juga menjadi faktor terkikisnya peran seorang fantasista. Keras karena karakter atau keras karena wasit sering membiarkan pelanggaran berbahaya terjadi tanpa dihukum? Tanya kenapa.

Seperti apapun strategi tim, dan se-rigid apapun formasi sebuah tim, peranan playmaker tetaplah penting. Manchester United walaupun terkenal memberikan nomor 10nya kepada striker utama, tetap merindukan Paul Scholes yang memiliki kemampuan memegang kendali permainan. Seperti halnya Jerman yang mampu memaksimalkan Bastian Schweinsteiger dan Mesut Ozil di akhir era Michael Ballack.

Untuk itu semoga klub-klub Indonesia, khususnya ISL berani memberikan kepercayaan posisi strategis ini kepada pemain lokal. Hanya Firman, Bustomi dan Egi sebagai output dari kompetisi dalam bentuk playmaker bukanlah hal baik bagi persepakbolaan Indonesia, khususnya tim nasional. Kita butuh playmaker lokal berkualitas internasional. Malaysia sekarang punya Baddrol dan Safiq. Indonesia tentu butuh sesosok playmaker yang bisa bermain di wilayah setengah lapangan lawan, sehingga serangan tidak melulu melalui long-pass dari full-back ataupun gelandang bertahan, serta tidak sporadis mengandalkan kecepatan lari striker. Permainan seperti itu jelas sudah usang, dan pastinya tidak menarik dan terbaca lawan.

Pemain tidak bisa disalahkan, karena timnas yang kita saksikan adalah produk dari kompetisi. Apa yang kita saksikan bersama adalah cerminan kompetisi kita. Permainan keras, tekel berbahaya, umpan lambung, serangan sporadis, mental labil adalah pemandangan yang akan kita tetap saksikan, dan kekalahan akan tetap kita akrabi. Kata-kata pelipur lara akan terus jadi sahabat kita, dan adik-adik kita penggemar sepakbola dan calon penerus penghuni timnas hanya akan bisa mendengar cerita pedih kekalahan senior-seniornya. Jika ingin melihat pemain dengan visi sebaik Paul Scholes, umpan seakurat Andrea Pirlo dan daya jelajah sejauh Ramires dan punya prestasi secemerlang mereka, atau perkembangan sepesat timnas Jepang, kita harus merubah semuanya. Merubah sikap dan pendekatan, dimulai dari merubah kompetisi.

Selamatkan sepakbola Indonesia!